#KabarSela
"Secara aturan itu terbuka. Jika publik meminta informasi berkaitan dengan anggaran dan realisasi beserta pertanggungjawabannya, (seharusnya) terbuka," ujar Taufik, Manager Advokasi dan Riset FITRA Riau, ketika ditanya terkait keterbukaan informasi anggaran publik. # Untuk beriklan hubungi (WA) 0813-7117-2088 # Nantikan Rapat Rakyat berikutnya dengan topik yang lebih menarik #
Bukan Sekadar Berita

Berdekat Rumah Erat Rasa

Sumber ilustrasi: pixabay.com

Berdekat Rumah Erat Rasa

Oleh: Iben Nuriska

 Ketika hari beranjak senja, Manda Pobela meminta uang kepada ayahnya untuk membeli jajanan. Oleh ayahnya, ia diberi seribu rupiah. Bagi Balita seusia Icek, sapaan sehari-hari Manda Pobela, uang segitu sudah membuatnya bahagia karena bisa berbelanja.

Dalam fase perkembangan, anak seusia Icek (5 tahun) tengah aktif mengembangkan kemampuan mengeksplorasi lingkungan sekitar, lebih berani dan antusias dengan rutinitas-rutinitas dan ide-ide baru.

Anak seusia Icek adalah anak-anak yang menyenangkan. Mereka senang bersosialisasi dan sudah mampu menceritakan peristiwa yang dialaminya dengan kalimat yang lengkap. Mereka juga gemar menari, bernyanyi, berakting, serta memiliki keinginan untuk menyenangkan orang lain.

Keinginan untuk menyenangkan orang lain itu pulalah, mungkin, yang mendasari Icek untuk tidak menolak saat dipanggil Jemi, yang juga tetangganya di Desa Inuai, Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Panggilan yang berujung tragis bagi gadis kecil yang ceria itu dan meninggalkan luka mendalam kepada keluarganya.

Setelah polisi berhasil menangkap pelaku (15/2/2022) yang buron selama tiga hari, Jemi mengaku perbuatan biadabnya itu didasari dendam kepada ayah Icek. Bukan karena kata-kata dan perlakuan kasar, atau juga utang piutang, hanya karena ayah Icek sering menyalakan musik dengan volume tinggi.

Miris sekali. Sungguh mencengangkan dan absurd. Seorang pria dewasa dendam kepada pria dewasa lainnya karena merasa terganggu oleh suara musik volume tinggi, lalu tega mengorbankan gadis mungil yang tengah belajar memperbesar langkah-langkah kecilnya untuk berjalan jauh menggapai masa depan yang bahagia. Hati siapa yang tidak terluka dan marah mengetahui peristiwa ini?

Entah setan jenis apa yang menguasai pikiran Jemi hingga ia tega merampas nyawa gadis kecil Miran Pobela itu.

Apa salah Icek? Apakah anak-anak seusia Icek, di manapun mereka berada, seperti apa pun perangai orang tuanya, pantas menjadi pelampiasan amarah?

Jemi dan Miran Pobela hidup bertetangga. Dari informasi yang saya baca di berbagai sumber, tidak disebutkan berapa jarak rumah mereka. Tetapi, dengan usia Icek yang masih 5 tahun dan peristiwa tragis itu terjadi saat senja, ditambah dari keterangan pembunuh sadis itu bahwa suara musik ayah Icek sering membuatnya terganggu dan menjadi alasan baginya merampas nyawa gadis kecil itu, saya menduga jarak rumah mereka sangat dekat.

Jarak rumah yang begitu dekat ternyata tidak membuat manusia yang tinggal di dalamnya berdekatan secara emosianal. Ada jarak interpersonal yang cukup jauh di antara mereka, sehingga tidak mampu membicarakan dan menyelesaikan dengan baik sebuah perkara yang, saya kira, amat sangat sepele. Atau, di hari ini, manusia, secara sosial, memang sudah berjarak dengan manusia lainnya sehingga ada penghalang bagi terjalinnya komunikasi yang baik antar sesama?

Berbagai peristiwa absurd sudah sangat sering terjadi. Ada orang meninggal yang baru diketahui oleh tetangganya setelah tercium bau yang tidak sedap. Ada juga orang yang kelaparan dan sakit menahun dan baru diketahui oleh para tetangganya setelah viral di media sosial. Tetangga membunuh tetangga seperti kasus di atas juga tak kalah sering kita baca dan dengar melalui media massa.

Dari peristiwa tragis yang menimpa gadis kecil di Bolaang Mongondow tersebut, tanpa bermaksud menyalahkan ayah Icek dengan kesedihannya yang pasti sangat mendalam saat ini, mari kita renungkan motif yang mendasari Jemi berbuat sekejam itu.

Kepada polisi ia mengaku dendam karena sering terganggu oleh volume suara tinggi dari musik yang diputar ayah mendiang Icek. Bila kita bicara hak individu, apa yang dilakukan ayah Icek itu bisa jadi tidak salah. Ia menyetel musik dari perangkat miliknya dan di rumahnya sendiri. Namun, bila kita juga turut memerhatikan hak-hak Jemi, ia juga berhak menolak suara bising dari perangkat musik milik tetangganya masuk ke rumahnya – meski itu tidak bisa diterima dengan akal sehat dijadikan sebagai alasan untuk membunuh: tidak!

Sering kali kita menuntut orang lain memahami hak-hak kita dengan melupakan bahwa kita juga memiliki kewajiban untuk memahami hak-hak mereka. Suara, akan menjadi polusi bila didengarkan secara berterusan dalam intensitas melebihi 75 desibel. Orang yang terpapar beresiko tinggi mengalami gangguan pendengaran.

Saya tidak sedang ingin membahas kejadian pembunuhan itu dari perspektif polusi suara yang mungkin telah mengganggu Jemi. Saya ingin mengajak kita bersama untuk merenungkan kembali hubungan interpersonal kita hari ini, terutama bersama orang-orang di lingkungan terdekat kita, tetangga.

Sedekat apa kita dengan mereka? Apakah kita hanya berdekatan rumah tetapi berjauhan secara emosional?

Inilah kiranya yang menggugah pikiran saya ketika mendengar di negeri yang saya cintai, Kabupaten Kampar, penjabat bupatinya mengajak kembali masayarakatnya untuk meningkatkan kepedulian dan solidaritas kepada tetangga melalui Gerakan Masyarakat Peduli Tetangga.

Dr. H. Kamsol, MM, mencanangkan program ini tepat pada peringatan hari ulang tahun Kabupaten Kampar ke 73. Sebuah gerakan yang tepat untuk menghadapi berbagai ancaman kemanusiaan yang terus mengintai pasca mewabahnya Covid-19, terutama krisis pangan dan energi dan juga resesi ekonomi global.

Pemerintah Republik Indonesia terus berupaya agar Indonesia tidak terdampak signifikan atas krisis yang tengah melanda berbagai negara di belahan dunia. Ini pulalah yang mungkin menjadi landasan berpikir Pj Bupati Kampar mengajak masyarakatnya merekatkan kembali hubungan interpersonal yang bisa menangkal terjadinya depresi akibat kelaparan yang menjadi dampak utama krisis tersebut.

Depresi bukan hanya disebabkan oleh kelaparan. Depresi juga bisa disebabkan oleh perasaan kesepian dan terisolasi dari lingkungan sosial. Karena itu, dukungan sosial antar sesama perlu terus ditumbuhkan dalam lingkungan masyarakat. Kita boleh menuntut hak, tetapi tetap tidak melupakan kewajiban untuk melindungi hak orang lain.

Depresi akibat tekanan hidup yang kuat sering kali menjadi pendorong orang-orang tertentu untuk melakukan tindak kiriminal. Alasan yang memang tidak bisa dibenarkan. Namun, ancaman depresi akibat krisis masih bisa kita tangkal selama kita masih memiliki ikatan sosial yang kuat berupa empati dan solidaritas.

Sebagai masyarakat yang agamis dan beradat, masyarakat Kabupaten Kampar memiliki ciri tak gemar makan dan kenyang sendiri serta masih memiliki kepedulian yang tinggi.  Kepedulian kepada sesama, solidaritas dan semangat gotong royong masih bisa kita saksikan di berbagai penjuru negeri. Adalah hal yang sangat baik ketika Gerakan Masyarakat Peduli Tetangga yang dicanangkan Dr. H. Kamsol, MM, menjadi gerakan dan kesadaran bersama sehingga semakin mengokohkan ciri masyarakat Kabupaten Kampar yang agamis dan beradat itu.

Kita tentu tak ingin nasib malang yang menimpa Icek terjadi di lingkungan kita. Kita juga tak ingin peristiwa absurd yang terjadi di masyarakat perkotaan seperti penemuan mayat setelah berhari-hari baru diketahui tetangganya, atau ada tetangga yang saling berbunuhan. Tidak! Kita tidak ingin menjadi manusia yang egois dan individualis karena kita orang beradat dan beragama.

Inilah kiranya pesan yang saya tangkap dari peluncuran Gerakan Masyarakat Peduli Tetangga oleh Pj Bupati Kampar pada beberapa waktu lalu; agar ikatan sosial kita semakin kokoh dan tidak tercerabut oleh badai krisis, sekuat apa pun ancamannya. Janganlah kita menjadi sekumpulan orang yang berdekat rumah tetapi berjauhan rasa menyayangi dan mengasihi. Mari! Berdekat rumah erat rasa. *

Afiliasi Media

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *