Menjelang hari raya
Ibu Darmi membeli semua perlengkapan di pasar
Uangnya sedikit tapi harus dapat banyak
Terpaksa berhutang walau malu sudah menumpuk
Sembari memejamkan mata, saya dengarkan berulangkali lirik lagu “Bu Darmi” yang dinyanyikan dengan lirih oleh Nosstress di atas. Meskipun keseluruhan liriknya berangkat dari latar belakang sosial masyarakat Bali, tapi saya merasakan kesamaan konteks dengan yang dialami oleh sebagian masyarakat di daerah tempat saya tinggal, yakni Kabupaten Kampar.
Bu Darmi mewakili ibu saya dan kebanyakan ibu-ibu dengan anggaran belanja rumah yang pas-pasan. Namun, ibu-ibu ini adalah ibu yang lahir dari bumi Indonesia yang memegang teguh slogan negeri adil dan makmur. Pemimpinnya adil dan rakyatnya makmur. Jika belanja di dapur menipis sementara harga-harga di pasar melonjak, mereka tidak akan mengeluh, sebab mengeluh itu dosa. “Kufur nikmat,” kata ibu saya suatu kali.
Pernah saya merengek kepada ibu minta dibelikan mainan pistol-pistolan seperti kawan-kawan saya yang lain. “Nanti kalau ada duit ibu belikan, ya,” jawabnya. Kata-kata itu kemudian hari saya pahami sebagai rintihan kepedihan yang tertahan seorang ibu karena tak mampu memenuhi permintaan anaknya. Apalagi saat itu adalah bulan puasa dan menjelang hari raya. Ada banyak kebutuhan dapur, pakaian anak-anak, hingga dekorasi rumah yang mesti dipikirkan. Sementara uang gaji ayah yang hanya seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) biasa saja, tanpa jabatan, tetap segitu-gitu juga. Hari raya lebaran adalah momen sakral yang mesti dirayakan. Tak peduli sepahit apapun hidup. Yang jelas, hari raya tetap hari raya. Sebuah perayaan kemenangan atas hawa nafsu.
Dari mulut ibu tak pernah saya dengar protes atas naiknya harga ini karena lemahnya pemerintah dalam mengayomi rakyatnya. Ayah pun demikian, ia tak pernah bicara tentang kenaikan gaji PNS atau gaji ke-13. Ia hanya tahu setiap awal bulan mengambil beras Bulog jatah PNS dan gaji, lalu semuanya diserahkan pada ibu. Dan saya tetap seperti anak-anak kebanyakan, yang tak punya mainan mahal seperti anak-anak orang kaya. Di antara anak-anak itu, saya hanya menjadi peramai dengan daya khayal yang tinggi membayangkan seandainya saya anak orang kaya.
Saat tulisan ini saya tulis, sebentar lagi hari raya menjelang. Dari Januari hingga Maret, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tren kenaikan inflasi di Kampar, dari 3,89% ke 4,63% hingga 4,89% dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 109,29%. Sialnya, sampai bulan April ini, harga-harga kebutuhan pokok masih saja naik. Kabupaten Kampar bahkan menjadi kabupaten dengan tingkat inflasi tertinggi di Provinsi Riau. “Ah, ini kan lumrah saja angka inflasi naik di bulan puasa!” ujar kawan saya ketus. “Tapi, kenapa Kampar menjadi yang tertinggi?” timpal saya.
Dari corong-corong masjid, para ustad bicara tentang syukur dan sabar. Betapa nikmatnya menjadi seorang muslim. Jika ia meraih anugrah, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Sebaliknya, jika ia mendapat musibah, ia bersabar, dan itu juga baik baginya. Saya jadi mengingat ibu yang telah almarhumah. Ia adalah perempuan dengan manifestasi kata-kata sang ustad. Namun, apakah ustad juga pernah merasakan kepedihan ibu yang tak mampu memberikan apa yang anaknya mau? Saya memahami betul tentang getirnya perasaan itu ketika sudah memiliki anak. Orang tua mana yang tidak bahagia melihat anaknya bahagia? Pun begitu sebaliknya.
Ibu saya dan ibu Darmi atau barangkali banyak lagi ibu Darmi lain yang jauh lebih susah daripada keluarga kami. Saya percaya itu. Buktinya, data kemiskinan di Kampar tak beranjak dari angka di atas 7 %, bahkan sejak tahun 2015 angka itu selalu bergerak naik. Hanya sempat turun 0,08% menjadi 7,04% per 30 November 2023, sebelum disusul oleh deretan angka inflasi bulan ke bulan yang melaju naik.
Di luar rumah sudah terdengar gema takbir. Pertanda esok hari raya tiba. Saya teringat ibu. Ingin saya berbicara kepada ibu tentang harga-harga bahan pokok naik, sedang uang sudah tidak ada. Akan tetapi, niat itu urung saya lakukan. Bukan karena ibu sudah tiada, tapi saya sudah tahu jawaban ibu. “Jangan tinggalkan sembahyang dan banyak minta sama Tuhan.” Iya. Petuah ibu tak akan pernah saya lupakan, meski tak selalu utuh saya kerjakan.
Rasa takut saya pada ibu, bukanlah ketika ia marah karena saya melanggar petuahnya. Akan tetapi, saya cemas apabila membuatnya bersedih. Ibu adalah orang yang mati-matian menyekolahkan saya. “Walaupun ibu tak pernah tamat sekolah, ibu mau kalian harus sekolah yang tinggi. Agar pintar. Agar kita tak bisa dibodoh-bodohi orang pintar,” petuahnya di lain waktu.
Saat dulu berkuliah di kampus, dosen saya mengatakan bahwa semua soal ekonomi ini, kita dapat meminta pertanggungjawaban pada penguasa atau pemerintah yang berkuasa. Rakyat memiliki hak untuk mempertanyakan bahkan menggugat kebijakan yang mereka buat. Itulah yang namanya demokrasi. Bu Darmi tak salah dengan kesungguhan hatinya mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut hari raya. Seharusnya pemerintah yang bertanggung jawab menyiapkan kebijakan publik yang menguatkan tulang punggung Bu Darmi dan seluruh rakyat yang rentan secara ekonomi. Sayangnya, fakta berkata lain. Kita dipaksa merayakan hari raya dengan inflasi tinggi.
Sampai di titik ini, saya merasa bahwa kebodohan itu sudah semacam kutukan. Dan, brengseknya lagi, semua orang seperti sedang tidak mengalami kutukan itu.
Penulis: Herman Attaqi