Tuhan Sajakah yang Bisa Memberi Buk Shinta Keadilan atas Kekerasan yang Dialami Putranya di Pesantren Darul Quran Kampar?  

Foto: Andreas/ihwal - Bu Shinta, seorang Ibu yang sedang menutut keadilan atas kekerasan yang dialami anaknya di Pondok Pesantren Darul Quran Kampar

ihwal.co – Di bawah langit senja, sebuah mobil polisi berwarna hitam berhenti saat lampu lalu lintas di bundaran depan kawasan Pendopo Rumah Dinas Bupati Kampar menunjuk warna merah, sebelum kemudian meluncur pelan meninggalkan seorang perempuan muda yang sedari tadi terduduk lesu di bahu jalan, tepat di depan kami semua.

Nama perempuan itu Shinta. Ia menempuh perjalanan kurang lebih 23 kilometer untuk menyuarakan kekerasan yang dialami putranya di lingkungan Pondok Pesantren Darul Quran hampir setahun lalu di Aksi Kamisan Kampar.

Di mana hingga kini anaknya mengalami trauma, bahkan untuk melihat orang saja ia ketakutan. Sudah ia coba membawa anaknya ke beberapa psikolog di Riau, namun belum juga ada hasil. Bahkan salah satu dari mereka menyarankan Buk Shinta agar memasukkan anaknya ke rumah sakit jiwa.

“Dia bilang rumah sakit jiwa punya kapasitas untuk menangani pasien dengan gangguan depresi berat yang melibatkan kombinasi psikoterapi kognitif dan, jika diperlukan, akan menggunakan obat-obatan. Tapi hati ibu mana yang tidak tersayat mendengar itu, Bang?” kata Buk Shinta dengan suara tertahan.

Bahkan, lanjut Buk Shinta, Muhammad Basir, Pakar Hipnoterapi Indonesia, yang memberikan bantuan pendampingan secara cuma-cuma, berkomentar bahwa kondisi anaknya sudah sangat parah sekali dan butuh penanganan khusus.

Meskipun para pelaku yang menyiksa anaknya telah ditetapkan sebagai tersangka, tapi hingga detik ini mereka belum juga ditangsikan. Padahal ia telah melimpahkan segala barang bukti ke pengadilan; seperti visum dan sebagainya. Namun belum ada juga putusan pengadilan yang mengubah status para pelaku dari tersangka, ke terdakwa, sampai terpidana.

“Saat yang kesekian kalinya saya bertanya ke Polda Riau, mereka justru menjawab bahwa pekerjaan polisi bukan hanya kasus saya saja.”

Sebenarnya yang paling menyakitkan untuk didengar dari cerita Buk Shinta adalah, alasan yang dikeluarkan pimpinan pesantren tentang mengapa putranya “dihukum”: karena diduga mengidap gangguan jiwa dan suka meninggalkan sholat.

Hukuman yang membuat anak berusia 12 tahun mengalami gegar otak, dan tengkorak kepalanya retak, karena dipijak beramai-ramai oleh senior pesantrennya. Sangat Islami sekali, bukan?

Saya pikir, karena pesantren tersebut masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Kampar, seharusnya kota yang punya julukan “Serambi Mekkah” ini patut berbangga. Kalau perlu rundingkan dengan Kementerian Agama dan MUI Pusat, agar merayakan hari lahirnya pernyataan pimpinan Ponpes Darul Qur’an tersebut sebagai Hari Pemurnian Islam.

Ditambah Pemkab Kampar jelas-jelas mengetahui kasus ini, tapi lepas tangan. Artinya sudah jelas mereka di pihak siapa. Bahkan hingga hari ini, anak Buk Shinta tidak bisa melanjutkan pendidikan ke sekolah lain karena surat keterangan pindah sekolah tidak dikeluarkan pesantren dengan alasan Buk Shinta telah mencorong nama baik pusat pendidikan agama itu.

“Padahal sebelumnya Kepala Dinas Pendidikan Kampar berjanji akan mengeluarkan surat keterangan pindah sekolah untuk anaknya, tapi sudah hampir setahun tidak keluar juga. Sakti sekali pesantren ini, bahkan orang nomor satu dalam pendidikan di Kampar, tak berani menyentuhnya. Saya juga sudah menemui bupati dan wakil bupati untuk ini. Tidak juga membuahkan hasil.”

Matahari semakin turun, tersembunyi sepenuhnya di balik Rumah Dinas Bupati Kampar yang megah, sehingga hanya tinggal cahaya kemerahan mencuat. Mobil dan motor terus lalu-lalang, sesekali suara Buk Shinta ditelan deru kendaraan.

Buk Shinta lanjut bercerita, bahwa semua upaya telah ia lakukan untuk mencari keadilan bagi putranya. Ia sudah mendatangi Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) perwakilan Riau, bahkan bertemu langsung dengan Kak Seto di LPAI Pusat. Tapi belum juga ada bantuan dari lembaga yang mengaku melindungi anak tersebut.

Bahkan ia juga mencoba menghubungi berbagai orang yang ia rasa punya kuasa untuk membantunya lewat media sosial, dari pejabat daerah sampai pusat. Dan mereka merespon kaduannya seolah-olah mereka akan memberi apa yang ia cari selama ini dan tak pernah ia dapati.

Tapi yang menakjubkan, setiap kali nama pesantren dan pimpinannya disebut, mereka semua mengambil langkah mundur. Termasuk salah satu di antaranya Muhammad Nasir Djamil, politikus senior dari Partai Keadilan Sejahtera, yang malang-melintang di televisi nasional merepet soal keadilan.

Selama hampir setahun ini sudah 200 juta kurang-lebih uang Buk Shinta habis untuk menuntut keadilan atas apa yang menimpa anaknya. Mulai dari membayar biaya iklan media sosial berpuluh juta, wartawan bodrek pantek yang memanfaatkan kemalangannya, pengacara, dan seterusnya dan seterusnya.

“Mobil terjual satu. Tapi alhamdulillah, zonk semua, Bang.” ucapnya dengan senyum berat.

Tampaknya tagar no viral no justice tidak berlaku untuk kasus Buk Shinta. Bayangkan saja, di berbagai media sosial di mana Buk Shinta menyurakan kekerasan yang menimpa anaknya sudah menyentuh angka tiga juta penonton. Sudah diliput televisi nasional pula. Kendati begitu, keadilan yang dicari Buk Shinta belum juga datang.

Entah siapa bekingan pesantren ini, sehingga frasa “viral” yang biasanya mampu mempengaruhi opini publik dan menggoyang orang-orang seperti Bahlil, Ulil, Fadli Zon, hingga Gibran, tidak dapat menyentuh pesantren kabupaten yang tidak seterkenal Gontor beserta pimpinan pondoknya.

Namun yang jelas, Bintang serta kawan-kawan Aksi Kamisan Kampar lainnya berjanji akan terus mendukung dan menyuarakan perjuangan Buk Shinta sampai tuntas. Seperti Buk Sumarsih yang dikawal dan didukung orang banyak atas nama Wawan.

Tanpa terasa, matahari telah tenggelam sempurna. Adzan magrib berkumandang dari pengeras suara Islamic Center Bangkinang, bersahut-sahutan dengan pengeras suara mesjid yang lebih kecil lainnya hingga ke kamar tidur para pejabat tinggi Kampar. Buk Shinta pun izin pamit untuk menemui satu-satunya tempat yang ia rasa mampu memberinya keadilan: Tuhan yang Mahakuasa.

*Andreas Mazland

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *