Desa Sewukan adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Desa ini merupakan salah satu desa yang memiliki potensi besar dalam pengembangan desa wisata berbasis budaya. Kalau kita melihat langsung, desa ini berada di kawasan pegunungan dengan latar Gunung Merapi yang megah, menawarkan udara sejuk, pemandangan asri, serta kehidupan masyarakat yang sederhana dan harmonis.

Mayoritas penduduk desa ini bekerja sebagai petani sayur dan padi. Mereka memanfaatkan kesuburan tanah pegunungan untuk menopang kehidupan sehari-hari. Melalui keseharian mereka yang dekat dengan alam, membuat Desa Sewukan terasa nyaman dan penuh kedamaian.
Selain keindahan alam, Desa Sewukan juga kaya akan seni dan budaya lokal yang masih terjaga hingga saat ini. Beberapa budaya lokal yang masih lestari adalah tarian tradisional, di antaranya adalah tarian Rewe-Rewe Buto Ijo, Wedhus Gembel, Jathilan, dan Topeng Ireng. Selain itu, juga ada tradisi lokal lainnya seperti tirakatan, kirab, dan pertunjukan seni selain tari, yang menunjukkan bahwa desa ini memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai tujuan wisata budaya yang unik.

Tarian Rewe-Rewe, misalnya, adalah tarian yang diciptakan oleh Pak Sudi Rahmat pada tahun 2008. Tarian ini ia buat sebagai bentuk ekspresi kegembiraan masyarakat kecil yang dulunya hidup dalam tekanan. Filosofi dari tarian Rewe-Rewe adalah bahwa di tengah tekanan hidup sekalipun, rakyat kecil berhak berbahagia dan bergembira dalam merayakan kehidupan.
Seiring berjalannya waktu, tarian ini kemudian berkembang menjadi beberapa varian, seperti Rewe-Rewe Buto Ijo dan Wedhus Gembel, yang masing-masing memiliki makna dan gerakan tersendiri. Uniknya, para penari tidak menggunakan kostum khusus, melainkan hanya menggunakan cat tubuh (body painting), sehingga tampilan para penari memiliki otentisitas yang membuatnya berbeda dari tarian tradisional yang lain.

Tidak hanya menjadi hiburan, tarian Rewe-Rewe juga menjadi sarana pendidikan budaya bagi generasi muda. Melalui kelompok tari “Warok Bocah,” anak-anak usia sekolah dasar ikut serta dilibatkan dalam pelatihan rutin agar mereka dapat mengenal dan mencintai kesenian daerahnya sendiri. Dengan demikian, proses regenerasi penari dapat terus berlangsung dan warisan budaya ini tetap hidup dari generasi ke generasi.
Namun, di era digital ini, pelestarian tarian Rewe-Rewe menghadapi tantangan baru. Di tengah perkembangan pesat teknologi dan media sosial, kenyataannya tarian ini masih kurang dikenal di dunia maya, sehingga tidak mendapat sorotan dari dunia di luar Desa Sewukan.
Minimnya dokumentasi dan promosi digital menyebabkan akses informasi tentang tarian Rewe-Rewe sangat terbatas, sehingga budaya ini kurang mendapat perhatian dari masyarakat luas, terutama dari generasi muda yang lebih akrab dengan media digital.
Salah satu alasan kenapa penggunaan platform digital belum massif adalah karena kurangnya anggaran dan perhatian dari pemerintah setempat, sehingga budaya di Desa Sewukan hanya masih dapat dinikmati oleh masyarakat setempat dengan kegiatan yang juga terbatas.
Padahal, jika dimaksimalkan, media sosial dan platform digital dapat menjadi alat yang sangat efektif untuk memperkenalkan tarian Rewe-Rewe ke tingkat nasional bahkan internasional. Dokumentasi seperti video, foto, dan cerita di media sosial seharusnya dapat meningkatkan visibilitas dan daya tarik tarian ini di mata wisatawan.
Meskipun belum ada perhatian serius dari pemerintah setempat untuk memaksimal penggunaan platform digital, seniman lokal masih terus berkarya dan melakukan berbagai upaya. Beberapa di antaranya adalah seperti melakukan kolaborasi dengan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, untuk meningkatkan kualitas pertunjukan dan memperluas wawasan para penari dan pemusik lokal, serta keikutsertaan dalam berbagai acara budaya seperti Komunitas Lima Gunung, festival, dan pentas di hotel-hotel kawasan Magelang.
Penulis: Muhammad Gibran Hariza, Muhammad Irfan Mumtaza, Viana Sonata, Dhea Nisa Roseafifah, Nashrullah Akmal Bahrah, Nuratika Anggraini, Chiqita Audya Mulyadewi, dan Zakri Baridwan (kesemua penulis adalah mahasiswa di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta)*
Editor: Fajar Rizki*