Kata konstitusi, pendidikan adalah hak, sehingga konsekuensinya, pemerintah sebagai penyelenggara negara harus memenuhi hak tiap warga untuk mendapatkan akses pendidikan. Akan tetapi, pada kenyataannya, bagi beberapa orang hak pendidikan hanyalah ilusi. Mereka yang beberapa itu terpaksa menelan ludah dari pahitnya berharap pada pemerintah untuk membayar uang kuliah yang mahal.
Kepahitan itu harus ditelan sendirian oleh Surya (nama sengaja disamarkan atas permintaan narasumber), Mahasiswa salah satu universitas ternama di Kabupaten Kampar. Latar belakang ekonomi keluarganya tergolong lemah. Ibunya hanya sebagai Ibu Rumah Tangga, dan ayahnya bekerja serabutan. Untuk menghidupi 4 orang anaknya yang masih menempuh pendidikan (termasuk Surya) ayah dan ibunya terkadang terpaksa menahan malu untuk berhutang kepada orang lain.
Demi meringankan beban kedua orangtuanya, Surya memutuskan bekerja di salah satu toko di Bangkinang Kota. Dengan gaji sebesar Rp. 800.000 per-bulan, Surya mengaku tetap sulit membayar uang kuliahnya yang berjumlah Rp. 2,5 juta per-semester. “800 ribu per-bulan, cuma cukup untuk bertahan hidup aja, Bang. Paling ndak, uang untuk hidup sehari-hari sudah ndak minta ke orang tua lagi. Kalau untuk SPP, mustahil, Bang,”ujarnya.
Surya telah berusaha sebisa mungkin mencari beasiswa untuk meringankan beban beratnya membayar uang SPP kuliah, tapi nasib berkata lain, dia hanyalah segelintir orang yang dikalahkan sistem. Salah satu beasiswa yang pernah diusahakan oleh Surya adalah beasiswa KIP (Kartu Indonesia Pintar) yang disediakan oleh Kementrian Pendidikan yang dipimpin Nadiem Makarim.
Kata Surya, “Kalau beasiswa KIP saya diterima, Bang, itu sudah sangat cukup untuk biaya SPP dan kehidupan sehari-hari. Karena KIP itu selain dikasih uang buat bayar SPP, juga dikasih uang saku buat sehari-hari.”
Ketika ditanya apa alasannya tidak lulus KIP? Surya mengatakan, “Karena lulus atau tidaknya KIP itu tergantung pihak kampus, Bang.” Menurutnya, kampus adalah pihak yang diberi wewenang oleh Kementrian Pendidikan untuk menentukan siapa saja yang berhak mendapat KIP dan yang tidak.
“Kampus diberi kuota oleh Kemendikbud. Misal, kampus A sekian kuota penerima KIP, kampus B sekian, dan nanti kuota-kuota itu dibagi lagi per-jurusan. Misal, ke jurusan A berapa kuota, dan jurusan B berapa kuota pula. Berapa-berapa kuota per-prodinya ditentukan kebijakan kampus,” tuturnya kemudian.
Menurut Surya, dia sudah memenuhi semua persyaratan administrasi sebagai penerima KIP. Dia juga mengatakan, “Bahkan saya juga menyerahkan sertifikat kejuaraan nasional sebagai tanda saya juga berprestasi di bidang olahraga.”
Sementara itu, saat ditanya tentang apakah dia menerima keputusan itu, Surya justru menjawab, “Tidak!” katanya dengan tegas. Alasan Surya masih belum menerima adalah karena ia melihat bahwa ada orang-orang yang hidupnya terlihat hedon justru mendapat beasiswa KIP. Dan sebaliknya, orang-orang yang seharusnya layak menerima beasiswa KIP, justru tidak dapat.
Lebih mirisnya lagi, Surya mengatakan, “Sebagian dari orang-orang yang saya kenal yang tidak menerima KIP, mereka terpaksa berhenti kuliah karena tidak sanggup membayar biaya kuliah.”
Ketika ditanya tentang statusnya di kampus, apakah ikut berhenti kuliah seperti teman-temannya yang lain? Dengan raut wajah murung dan nada suara rendah, Surya berkata, “Sekarang saya masih cuti, Bang. Ndak kuat bayar biaya kuliah. Tapi, insya Allah, kata orang tua saya, kalau semester ini ada biaya, saya bisa kuliah lagi. Itupun kalau ada, Bang. Kalau tidak ada, ya, saya tetap lanjut cuti lagi.”
Reporter: Ziyad Ahfi
Editor: Herman Attaqi