Kota lebih dari sekadar ruang fisik, bangunan tinggi, jalan raya, dan suara sibuk aktivitas. Di balik itu, ada lapisan yang lebih dalam—ekosistem hidup yang sering terlupakan dalam proses pembangunan. Setiap kota menyimpan hubungan antara manusia, alam, dan makhluk hidup lainnya dalam suatu kesatuan ekologi yang saling terkait. Pendekatan ekologi perkotaan membuka peluang untuk melihat kota bukan hanya dari sudut pandang infrastruktur, tetapi juga sebagai ruang hidup yang memiliki dinamika ekologis dan sosial yang sangat berpengaruh.
Sejak 2022, Pekanbaru telah dikategorikan sebagai kota metropolitan, dengan pertumbuhan ekonomi, infrastruktur, dan jumlah penduduk yang pesat. Selain itu, Pekanbaru berperan penting sebagai pusat perdagangan, pendidikan, dan kebudayaan Melayu. Melihat hal ini, sangat penting bagi warga kota untuk berpartisipasi dalam memahami kota mereka—untuk membacanya sebagai sebuah teks yang penuh makna, dapat ditafsirkan ulang, dan dipertanyakan. Ini adalah upaya untuk merumuskan bagaimana kota ini bisa berkembang secara berkelanjutan, inklusif, dan ekologis.
Dengan tujuan ini, Yayasan Sirih Merah Sikukeluang (YSMS) menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema besar “Kata Kita Kota: Melihat dan Mendengar Kota Pekanbaru Melalui Pendekatan Ekologi”. Acara ini didukung oleh Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia, Dana Indonesiana, dan LPDP, dan berlangsung selama tiga hari (26-28 April 2025) di Sy.Wen Coffee. FGD ini dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat—aktivis lingkungan, mahasiswa, seniman, dan masyarakat umum—dan menghadirkan narasumber ternama seperti Ahlul Fadli (Walhi Riau), Amarawati Ayuningtyas (Komunitas Jalan Gembira), dan Bung Joni (Trotoart, Jakarta), yang dimoderatori oleh Bayu Amde Winata, penulis sejarah.
Menghadirkan Perspektif Ekologi terhadap Kota Pekanbaru
Pada hari pertama, Sabtu, 26 April 2025, Pramudia, sebagai pembawa acara memberi kepada Gusmarian (Manager Program) untuk memberikan sambutan dan menjelaskan tujuan kegiatan. Beliau menjelaskan tujuan dan harapan dari FGD ini. “Kegiatan ini mengajak berbagai komunitas untuk melihat dan memetakan Kota Pekanbaru dengan pendekatan ekologi perkotaan, serta menelusuri hubungan antara ruang, masyarakat, dan lingkungan hidup,” ujarnya. Gusmarian menambahkan, melalui FGD ini, YSMS berharap bisa mengumpulkan gagasan yang menjadi dasar untuk riset, program seni, maupun advokasi kebijakan yang berfokus pada isu-isu ekologi perkotaan.

Sambutan tersebut diikuti dengan pemaparan pertama oleh Ahlul Fadli dari Walhi Riau, yang mengangkat tema “Membaca Pekanbaru Secara Ekologis”. Ahlul mengapresiasi FGD ini sebagai ruang penting untuk membahas pembacaan ulang terhadap perkembangan kota yang terus berkembang pesat. “Pekanbaru bisa dibaca kembali melalui data statistik yang menunjukkan tingginya laju pertumbuhan penduduk, yang mempengaruhi masalah lingkungan seperti pengelolaan sampah dan kualitas udara,” kata Ahlul, mengutip data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatatkan kepadatan penduduk Pekanbaru pada 2024 mencapai 1.608,37 jiwa per km².

Ahlul juga menyoroti persoalan sampah yang menjadi isu penting bagi Pekanbaru. Meskipun telah ada gugatan hukum terkait pengelolaan sampah, masalah ini masih belum terselesaikan. “Hak manusia atas lingkungan yang sehat sangat penting, sebagaimana hak lingkungan untuk tetap berkelanjutan,” tambah Ahlul, mengingatkan pentingnya keadilan ekologis.
Jalan Kaki: Strategi Aksi untuk Memahami Kota dengan Lebih Mendalam
Pada hari kedua, Amarawati Ayuningtyas dari Komunitas Jalan Gembira mengangkat pentingnya berjalan kaki sebagai cara untuk memahami kota secara lebih mendalam. Jalan Gembira, yang dimulai pada 2016 di Yogyakarta, mendorong orang untuk berjalan kaki sebagai sarana eksplorasi kota. “Berjalan kaki memberikan kesempatan untuk merasakan kota secara langsung, melihat hal-hal yang sering terlewatkan, dan mengarsipkan pengalaman ini dalam bentuk visual dan tulisan,” ujar Amarawati.
Peserta FGD membagikan pengalaman mereka tentang kegiatan berjalan kaki di berbagai kota, seperti Dea (Kotak Baca) yang berbagi cerita tentang aktivitas komunitasnya di sekitar Sinepalan dan Kampung Bandar. Fariz (Manual Kampar) juga memiliki program jalan kaki di Bangkinang. “Jalan kaki bisa membuka mata kita terhadap dinamika yang ada di sekitar kita,” ujar Irvan (Forum Studi RT 05), menekankan pentingnya melihat dan merasakan kota lebih dekat.

Amarawati mengungkapkan bahwa berjalan kaki adalah cara untuk menemukan segala kemungkinan dalam kota, baik itu masalah sosial maupun ekologis. “Contohnya, ketika kita berjalan sepanjang Kali Code di Yogyakarta, kita tidak hanya melihat keindahan visual, tetapi juga memahami hubungan sosial dan ekologis yang ada di sekitar sungai tersebut. Hal ini bisa diterapkan di Pekanbaru, terutama dengan mengamati sungai-sungai yang ada di kota ini,” ujar Amarawati.
Seni sebagai Sarana Perubahan Sosial dalam Ekologi Perkotaan
Pada hari ketiga, Jhons Patriatik Karlah dari Komunitas Trotoart berbagi pengalamannya dalam menciptakan karya seni yang berfokus pada perubahan sosial dan ekologi perkotaan. Trotoart, yang didirikan pada 2001, telah menginisiasi berbagai program seni yang mengangkat isu sosial, seperti mengubah Tempat Pembuangan Sampah (TPS) menjadi ruang aktivitas warga di Penjaringan, Jakarta Utara.

Jhons menekankan bahwa seni bisa menjadi alat untuk mengubah persepsi dan memberikan dampak sosial yang positif. “Bagi saya, seni adalah ibadah. Melalui seni, kita bisa memanusiakan kota dan warga, serta menciptakan ruang yang lebih inklusif dan berkelanjutan,” katanya. Peserta FGD lainnya, Acong (SIKUKELUANG), bertanya tentang strategi yang digunakan oleh Trotoart untuk bertahan di tengah dinamika sosial yang keras. Jhons menjawab, “Saya selalu berusaha beradaptasi dengan karakter dan dinamika warga. Ini bukan hal yang mudah, tetapi itulah yang membuat kami bertahan.”
Diskusi pada hari ketiga ini menutup rangkaian kegiatan FGD dengan pembahasan tentang kemungkinan-kemungkinan untuk meneruskan program seni dan riset di Pekanbaru. Para peserta sepakat bahwa ada kebutuhan mendesak untuk lebih banyak riset tentang ekologi perkotaan, dan beberapa program seni, seperti workshop lima cabang seni (teater, tari, musik, sastra, dan seni rupa), perlu digelar untuk meningkatkan kesadaran ekologis.
Reporter: Husin a.k.a Ucin