Senja, Kopi yang Tak Jadi, dan Sampah di Sana-Sini

Penulis: W.S Djambak

Foto: W.S Djambak - artwork by @mendingartsip

ihwal.co – Suatu petang nan garang, di sudut Panam, beberapa pengendara motor terlihat dari kejauhan membawa beberapa bungkusan serupa balon. Rupa-rupa warnanya.

Untungnya tidak ada yang berwarna kuning, kelabu, merah muda, dan biru. Apalagi hijau yang akan meletus dan membuat hatiku sangat kacau. Kalaupun ada, tentulah itu bukan kantong sampah, melainkan tabung gas elpiji tiga kilo.

Si pengendara—masih dalam kondisi kendaraan melaju—melemparkan bungkusan itu sedemikian rupa ke dalam sebuah kotak kuning besi.

Ada yang masuk, tak jarang juga yang meleset dan terjatuh tak jauh dari target. Bahkan ada juga pengendara lainnya yang memang dengan sengaja melempar ke luar kotak tersebut. Akibatnya, kantong sampah itu menumpuk dan menimbulkan bau busuk.

Persoalan pola distribusi sampah ini terjadi tak hanya di Panam, melainkan di Pekanbaru secara keseluruhan—bahkan barangkali di kota-kota lainnya juga.

Sebagai seseorang yang memiliki ketertarikan terhadap sampah, saya mencoba membuat hipotesis bahwa pola distribusi tumpukan sampah ini dikarenakan pola didik generasi baby boomer dan generasi milenial.

Kenapa saya membuat hipotesis demikian? Saya merumuskan premis bahwa keterlibatan generasi baby boomer dan generasi milenial dalam persebaran sampah adalah melalui internalisasi dan rasionalisasi slogan “buanglah sampah pada tempatnya”.

Jika ditilik secara semiotik, kata “tempatnya” itu sendiri saya nilai sebagai sebuah argumentasi yang keliru, cacat, dan ambigu.

Tidak hanya itu, kecacatan berpikir lainnya yang paling parah adalah tidak sampainya informasi mengenai kriteria dari apa yang dimaksud sampah itu sendiri kepada masyarakat—selain daripada arti yang terlalu luas dan berhak mendapat penginterpretasian sendiri sesuai pemahaman masing-masing (tempat sampah dan sampah itu sendiri akan saya jelaskan setelah ini).

Sejauh ini, dalam pemahaman masyarakat awam, segala sesuatu yang sudah tidak lagi memiliki nilai utilitas, dan mengganggu estetika, dianggap sampah.

Dan segala yang bernama sampah, harus disingkirkan dari pekarangan kita, dengan cara apapun, meskipun hanya memindahkan dari pekarangan kita ke pekarangan tetangga.

Lalu, yang menjadi pertanyaan besar, kira-kira di manakah sejatinya tempat sampah sebenarnya berada? Sesuai namanya, tempat sampah adalah sesuatu yang menampung keberadaan sampah. Itu saja. Tidak ada pemaknaan filosofis apapun di dalamnya.

Ia hanya berupa keranjang sampah yang berguna untuk menampung sementara sebelum dibuang kembali ke tempat sampah akhir, atau malah dibakar.

Pertanyaannya, apakah masalah selesai sampai di sini? Tentu saja tidak. Justru di sinilah timbul permasalahan baru.

Tidak jelasnya pendidikan mengenai sampah di lingkungan kita, memicu munculnya “Not In My Backyard” (NIMBY) Syndrome”, yaitu suatu mentalitas egois yang hanya menjadikan lingkungannya sebagai fokus perhatian dan mengabaikan lingkungan lain dengan asumsi: yang penting bukan di halaman belakang rumahku.

Untuk menjelaskan fenomena ini, saya mencoba menyitir sebuah teori dari rumpun ilmu psikologi bernama “teori atribusi” yang dipopulerkan oleh Fritz Heider.

Teori ini berbicara mengenai  bagaimana individu mempersepsikan kausalitas berbagai peristiwa, baik yang berdasarkan hubungan antara faktor eksternal maupun internalnya. Atribusi merupakan persepsi awal itu sendiri.

Secara sederhana, kita bisa merumuskan hipotesis mengenai kecenderungan orang untuk membuang sampah sembarangan, sehingga, untuk mencegah hal tersebut, seringkali dibuat arahan dan tegahan. Namun, di sini lagi permasalahan lainnya.

Masih berkaitan dengan Teori Atribusi, akan ada salah satu efek perlawanan yang muncul dari atribusi tadi. Efek ini dinamakan sebagai Efek Reaktansi, yang mana kecenderungan untuk menolak upaya persuasi, bisa terkait dengan teori atribusi dalam berbagai cara.

Semisal, jamak kita jumpai spanduk bertuliskan “dilarang membuang sampah di sini” namun di bawahnya justru tumpukan sampah menggunung dan mengeluarkan bau menyengat.

Hal ini tentu membingungkan, sebab upaya persuasi tidak menemui solusi, entah berupa imbauan dan larangan. Hal ini memunculkan paradoks bahwa, kebanyakan tempat sampah saat ini bukanlah tempat sampah pada awalnya.

Hanya dikarenakan satu orang manusia egois yang memulai membuang sampah di sana, kemudian dilanjutkan oleh puluhan, bahkan ratusan manusia tolol lainnya yang beranggapan bahwa tempat tersebut memang tempat pembuangan sampah.

Sadar akan hal itu, barangkali masyarakat di sudut daerah Panam yang lain, mengatasi persoalan tumpukan sampah dengan atribusi tidak lagi dengan upaya persuasi atau prohibisi, melainkan—saya tidak tahu harus menyebut apa—berupa sebuah plang bertuliskan, “hanya anjing yang buang sampah di sini”.

Hebatnya, ternyata di sana anjing-anjing bisa membaca dan benar-benar membuang sampah di lokasi tersebut. Sampai-sampai saya menduga, apakah dalam pergaulannya sehari-hari, anjing akan memaki dengan mengatakan, “Manusia!” sebagaimana kita memaki dengan kata “anjing”?

Terlepas dari moral dan estetika, ternyata penumpukan sampah justru berkontribusi pada pemanasan global.

Penjelasannya begini: karena doktrin edukasi membuang sampah yang tidak utuh tadi, kebanyakan kita menelan mentah-mentah tanpa tergerak untuk menelaah sampah apa saja yang perlu dibuang, dan yang bisa diolah.

Sehingganya malas untuk memilah mana yang sampah plastik (yang bisa dibuang atau didaur ulang), dan sampah makanan (yang sebenarnya tidak perlu dibuang ke tempat sampah, melainkan ke tanah dan dibiarkan terurai oleh mekanisme alam.

Dalam benak kebanyakan kita, bahkan mungkin saya, adalah “yang penting hanya membuang sampah pada tempatnya”.

Sampah yang tercampur ini menumpuk dan membusuk. Namun proses pembusukan itu tidak berlangsung sempurna, karena hanya menghasilkan bau busuk tanpa bisa terurai menjadi bagian dari ekosistem.

Bau busuk itu dihasilkan dari reaksi anaerob oleh bakteri—reaksi anaerob terjadi ketika kondisi tanpa oksigen yang dalam hal ini di dalam wadah plastik yang mampat—sehingga muncullah gas metana yang merupakan salah satu gas utama pada efek rumah kaca.

Sebagai warga Panam yang baik dan taat, tentu saja persoalan sampah ini tidak bisa kami anggap remeh. Saya dan Andreas Mazland, yang awalnya berencana ingin pergi ngopi—sambil mengabadikan momen puitik langit senja sembari menulis puisi berlatarkan lagu Fiersa Besari—membatalkan niat kami.

Kami ingin mencegah Panam tercinta sebagai episentrum kebocoran lapisan ozon. Namun siapalah kami. Hanya dua orang prindavan (pria tangvan dan rupavan). Tidak mungkin juga kami secara tiba-tiba menjadi polisi sampah.

Maka, kami secara spontan berencana mengkaji fenomena antropologi dan hubungan kausalitas antara manusia dan sampah yang dijuduli “Dampak Literasi Sampah Melalui Slogan ‘Buanglah Sampah pada Tempatnya’ Terhadap Distribusi Tumpukan Sampah di Panam, Kota Pekanbaru, Provinsi Riau”.

Judul ini memang harus dibuat serius, sebab persoalan sampah memang selalu serius. Pemerintah saja yang tidak serius menanganinya.

Andre, sebagaimana ia biasa dipanggil, memacu motor bututnya menuju tumpukan sampah yang tak begitu jauh jaraknya dari tempat kami—hanya sepelemparan kantong sampah.

Di pinggir jalan, di depan tumpukan sampah yang membukit, seorang perempuan setengah baya tengah berjongkok bersama kedua anak perempuannya.

Ia mengais-ngais sampah tanpa sarung tangan ataupun masker—dan sama sekali tidak terlihat terganggu dengan aroma sampah itu. Ketika didatangi, dan kami ambil beberapa dokumentasi, perempuan itu terlihat ketakutan.

“Kami mencari sampah karah-karah untuk uang tambahan, Pak,” ujarnya. Gelagatnya gelisah. Di dekat kakinya, terdapat sebuah kantong berisi gelas dan botol minuman yang sudah dilepaskan mereknya.

Di sampingnya sebuah kantong plastik besar berisi sampah sisa makanan; nasi basi dan sayuran busuk menggembung seperti perut babi gendut. “Untuk makan ternak,” katanya seakan memahami pikiranku. “Babi?”

Si perempuan mengiyakan. Ia bercerita memiliki lima ekor babi; dua ekor indukan, dan tiga ekor anaknya. Babi-babi itu berwarna putih dan lucu sekali. Saya melihat ke arah Andre, teman saya. Ia sedang mengajak anak si perempuan itu berbincang. Perempuan itu menolak memperkenalkan diri.

“Takut diviralkan,” katanya, yang membuat kami bingung harus bereaksi bagaimana. Hendak tertawa, namun tenggorokan kami tercekat oleh aroma busuk sampah dan dahak kami sendiri. Perasaan getir hadir.

Betapa tidak, di saat pejuang FB Pro berjuang untuk viral dan FYP, perempuan ini malah menolak viral.

Padahal, bisa saja dia bermain FB Pro, atau Tiktok. Entah di TPS (Tempat Pembuangan Sementara), atau di mana saja yang dikehendakinya seperti rata-rata pengguna media sosial belakangan ini, tentulah ia akan lekas memperoleh uang entah itu hasil monetisasi, endorsement, donasi, dan gift.

Ketika ditanya apakah ia malu (memulung), dengan senyum yang susah diterjemahkan, ia berkata bahwa sudah lama ia menyingkirkan malu.

Ia mengingatkan saya pada perkataan Nietzche, “Saat kita memiliki alasan untuk hidup, kita bisa menangani hampir semua cara untuk bertahan.”

Si perempuan lanjut mengumpulkan bungkusan plastik yang baru dilemparkan oleh pengendara lain yang baru lewat. “Suami kerjanya bertukang. Penghasilannya Bapak tahulah berapa. (Memulung) lumayan untuk tambahan.”

Si perempuan berkata sudah melakoni profesi ini bertahun-tahun. Melihat anak-anak si perempuan itu, saya menyentil sisi keibuannya. Saya tanyakan sebuah pertanyaan yang agak kurang ajar. Apakah anak-anaknya tidak malu ikut memulung bersamanya?

Di luar dugaan, ia diam sejenak. Berdiri sambil meluruskan pinggang dengan peregangan sederhana, kemudian menjawab bahwa baginya pekerjaan memulung ini lebih baik ketimbang harus meminta-minta. Ia mengakui bahwa cukup menyenangi pekerjaannya meskipun hasilnya tidak seberapa.

Matahari petang semakin memanggang leher kami, dan di baju, keringat sudah mengembun, menimbulkan aroma yang bercampur dengan bau sampah.

Andre kali ini menawarkan uang untuk jajan yang tentu saja ditolak oleh si anak. “Ambil saja uang ini. Syaratnya, kamu mau difoto sambil tersenyum. Oke?”

Si anak tersenyum, namun tidak mau difoto. Ah, sial. Hilang sudah momen kami mendapatkan foto estetik dengan captionbahagia tidak harus selalu tentang uang” yang berlatarkan anak-anak tersenyum bahagia di tengah tumpukan sampah.

Bukankah memang demikian adanya? Bahwa bahagia tidak mesti selalu ada uang? Buktinya, Koesplus saja berkata bahwa hati senang walaupun tak punya uang.

Bahkan, berdasarkan penelitian teranyar dari Universitas Harvard, Indonesia menjadi negara paling bahagia di dunia.

Konon katanya, studi ini, mewawancarai dengan lebih dari 200.000 orang di 22 negara. Hebatnya, Indonesia menempati posisi pertama, di atas Israel, Filipina, Meksiko, dan Polandia. Sungguh waw-bedelau.

Ya, saya percaya bahwa kita memang berbahagia. Kan tidak mungkin universitas sekelas Harvard mengeluarkan penelitian palsu? Kecuali, beritanya yang palsu.

Ah, tapi tentu saja itu tidak mungkin. Lagipula, negara relijius berintegritas seperti negara kita tentu tidak mau membayar untuk memalsukan data.

Percayalah, bahwa kebahagiaan itu memang tidak selalu berkorelasi dengan uang, dan selalu dari hal yang sederhana. Misal, betapa kita berbahagia ketika melihat tetangga tertimpa kemalangan.

Atau bagaimana bahagianya kita sebagai netizen melihat artis yang dibenci tersandung kasus dan mendekam dalam tahanan. Atau mungkin betapa bahagianya kita jika mantan pacar menyukai status IG dan FB.

Ya, bahagia memang sesederhana itu. Masuk akal jika si perempuan itu juga bahagia melakoni pekerjaannya. Nietzche-lah yang salah. Si perempuan tidak perlu alasan untuk hidup. Ia hanya bahagia, sedangkan alasan muncul belakangan.

Si perempuan lanjut bercerita tentang anaknya yang berjumlah empat orang. Yang paling besar bersekolah di sebuah SMK di daerah Panam, dan yang paling kecil mau masuk SD tahun ini.

“Tahun ini anak saya dua orang masuk sekolah. Dia (sambil menunjuk anaknya yang lebih kecil) dan adiknya yang bungsu.”

Si anak yang ditunjuk ibunya menunduk. Andre masih bersikeras membujuk si anak tersebut untuk menerima uang darinya—namun ia sudah menyerah meminta si anak tersenyum ketika di foto. Si anak memandang ibunya yang dibalas dengan anggukan, lalu mengantongi uang dari Andre.

Sedang asyik berbincang, tiba-tiba kami didatangi dua orang laki-laki. Mereka tidak membawa bungkusan plastik sampah, melainkan sebuah pertanyaan. “Abang dari media mana?”

Andre dengan wajah penjahatnya mendelik. Masih dalam posisi jongkok, ia menjawab malas, “Gak ada. Kami ngobrol aja. Kenapa?”

Kedua laki-laki itu memperkenalkan diri sebagai pengawas dari sebuah intasi pemerintah yang mengurusi persampahan.

Namun alih-alih canggung dan terintimidasi, Andre menjawab singkat sambil melihat ke arah tumpukan sampah, tanpa menoleh sama sekali ke arah mereka. “Oh, ya. Mantap.”

Entah karena bau busuk, atau perilaku busuk dari Andre, kedua laki-laki itu pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Tak lama, si perempuan dan anak-anaknya pun pamit pergi. Kami turut beranjak meninggalkan tempat yang penuh momen puitik dan filosofis itu.

Sepanjang perjalanan, di atas motor butut Andre, kami berdebat mengenai mana pekerjaan yang lebih menghasilkan saat ini. Pejuang FYP Tiktok dan FB Pro, atau memulung?

Di luar dugaan, argumen Andre membuat mata saya kembali terbuka. “Pencari karah-karah lebih menjanjikan,” ujarnya.

Saya tentu saja meragukan hal tersebut yang dibalas Andre dengan argumentasi, “Dengan mencari plastik, setidaknya ia bisa mendapatkan uang untuk membeli makan setiap hari. Pasti bisa makan nasi! Sedangkan pejuang FYP Tiktok dan FB Pro, meskipun pekerjaannya terlihat asyik dan menarik, namun sulit mendapatkan hasil yang memuaskan. Bahkan sering dijumpai di beranda media sosial, mereka mengeluhkan berbagai macam hal terkait tidak sebandingnya usaha dan hasilnya, meskipun mengutip kata-kata bijak usaha tidak akan dikhianati hasil.”

Benar juga kata Andre. Dunia FB Pro dan Tiktok memang keras. Rata-rata kawan saya yang bermain itu perlahan kelihatan seperti orang gila. Bahkan saking kerasnya upaya mereka, sampai-sampai rela melakukan hal konyol sambil meminta donasi, mengingatkan saya pada salah satu kelompok dunia murim, Partai Pengemis.

Di sana, pekerjaan meminta-minta sudah menjadi pekerjaan kolektif dan sistematis. Bahkan ketua partai pengemis menjadi suatu jabatan prestisius. Ya, kurang lebih mirip dengan semacam ormas pemburu hajatan di sini.

Setelah pertemuan sore itu, saya yang selama ini mengeluhkan permasalahan sampah di Panam seperti mendapat pencerahan. Ternyata permasalahan sampah ini tidak semestinya dipandang sebagai hitam-putih, dan sesuatu yang kaku seperti itu.

Perjumpaan dengan si perempuan itu membuka mata kami bahwa ternyata, sampah sekalipun, juga mempunyai nilai guna. Ternyata, definisi sampah selama ini yang kita yakini adalah salah. Sampah tidaklah sesampah itu.

Saya jadi merasa barangkali para “anjing” yang membuang sampah di sudut lain Panam, atau manusia sekalipun di sudut Panam lainnya, sebenarnya adalah makhluk mulia yang tindakannya tidak tercerna oleh akal pikiran manusia biasa seperti kita yang belum mencapai ranah transenden, atau makrifat.

Betapa tidak. Bahkan, saya tidak berani membayangkan butterfly effect dari ketiadaan sampah di Panam cum Pekanbaru.

Andaikata tidak ada tumpukan sampah, akankah si perempuan dapat mencari pemasukan tambahan untuk sekolah anak-anaknya serta makan untuk babi-babinya?

Berapa banyak juga petugas kebersihan yang akan kehilangan pekerjaannya jika tak ada lagi sampah.

Atau, betapa Riau, wabilkhusus Pekanbaru akan kehilangan talenta calon atlet yang sudah terbiasa latihan secara akurat dan presisi dengan melempar bungkusan sampah ke bak sampah kuning?

Persetan dengan pemanasan global. Tetaplah yakini bahwa itu hanyalah teori konspirasi para elit global saja.

Bahkan lebih jauh lagi, andai sampah tidak ada, tentu selokan tidak akan mampat. Dan jika selokan tidak mampat, tidak akan ada banjir.

Jika tidak banjir, maka slogan Pekanbaru sebagai Kota Berk(t)uah tidak lagi relevan, dan pastinya identitas kita secara komunal sebagai sebuah kota patut dipertanyakan.

Semua ini, dan perlu ditegaskan sekali lagi bahwa kita masyarakat Panam dan sampah adalah satu. Sampah adalah kita, dan kita adalah sampah. Tetaplah menyampah, meski hanya anjing yang buang sampah (sembarangan). [*]

*Windi Syahrian a.k.a. WS. Djambak, merupakan seorang Penulis Negeri Sipil yang menjabat sebagai Peneliti Ahli Madya di Laboratorium Sastra Mazhab Panam. Memiliki spesialisasi keahlian di bidang psikologi persampahan, antropozoologi, astrobiologi, dan berbagai bidang pseudosains lainnya. Seorang penganut paham bumi tidak bulat, dan tidak datar, melainkan merupakan salah satu percabangan pohon. Saat ini sedang merampungkan sebuah tulisan tidak ilmiah yang ditargetkan terbit pada jurnal terindeks scopus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *