Opini  

Repol Tidak Paham tentang Demokrasi yang Dia Sebut Penting Itu

Ilustrasi: ihwal.co
Sebagai orang yang terlibat aktif pada jabatan publik dan memiliki wewenang dalam proses rekrutmen calon pejabat publik, sebaiknya Repol dikelilingi oleh orang-orang yang punya pemahaman lengkap terhadap demokrasi. Bukan justru dikelilingi badut-badut politik yang sekadar berburu angpau pokir.

Penulis: Ziyad Ahfi

Dalam satu kesempatan, pada Jumat (20/09/2024), Repol, seorang bakal calon Bupati Kampar dari Partai Golkar mengisi sebuah seminar di hadapan siswa SMA Muhammadiyah Bangkinang dengan tema “Suara Demokrasi, Suaramu Ekspresimu.”

Berita itu saya temukan pada satu Koran digital (Suara Indonesia) dengan judul “Jadi Pemateri di SMA Muhammadiyah Bangkinang, Repol Paparkan Pentingnya Demokrasi.”

Ketika dibaca keseluruhan isinya, saya menemukan kutipan dari perkataan Repol, dua di antaranya adalah: Pertama, “Semua punya hak yang sama menyatakan pendapat dan mengekspresikan diri untuk memilih pemimpin pilihannya.” Kedua, “Demokrasi itu adalah kebebasan. Masyarakat berkewajiban memilih pemimpin yang benar-benar mengerti dan memahami persoalan daerah.”

Meski tidak ditulis secara lengkap kesuluruhan isi dari seminar Repol tersebut, paling tidak, dari dua kutipan yang ditulis oleh media Suara Indonesia itu, kita dapat menemukan sejauh apa pemahaman Repol dalam memaknai demokrasi yang dia sebut penting itu.

Demokrasi Bukan Hanya tentang Hak Memilih

Sebagai orang yang mengaku mantan aktivis mahasiswa, seorang pemimpin partai politik besar, anggota DPRD 4 periode, dan calon bupati, terlalu konyol apabila Repol hanya memaknai hak politik sebatas “hak memilih.”

Pemaknaan itu dapat kita lihat pada kutipan pertama yang mengatakan bahwa “semua punya hak yang sama menyatakan pendapat dan mengekspresikan diri untuk memilih pemimpin pilihannya.”

Padahal, hak politik juga adalah tentang “hak dipilih”. Kenapa Repol tidak menjelaskan itu? Apakah Repol tidak paham hak politik? Atau Repol sengaja tidak menerangkannya karena kebutuhan Repol hanya sebatas pada kepentingan politik elektoral semata—agar mereka menggunakan hak memilihnya pada 27 November 2024 mendatang untuk mencoblos pasangan RE-DO? Sebatas itu?

Seharusnya, Repol juga menjelaskan kepada mereka tentang “hak dipilih.” Karena problem besar demokrasi kita mengenai hak politik adalah soal sering diabaikannya “hak dipilih”.

Mudahnya, hak dipilih adalah hak setiap warga untuk dapat mencalonkan diri sebagai pejabat publik, baik di eksekutif maupun di legislatif melalui proses rekrutmen partai politik.

Pertanyaanya, apakah setiap warga benar-benar bisa menggunakan haknya untuk dipilih itu? Apabila melihat fenomena yang terjadi, jawabannya adalah tidak.

Hak untuk dipilih itu hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang: orang-orang berduit atau yang memiliki akses terhadap pemodal.

Alasan kenapa hak untuk dipilih hanya bisa dipakai oleh orang-orang berduit adalah karena besarnya ongkos politik, ketidakhadiran negara dalam membiayai para calon, juga yang paling vital adalah karena partai politik sudah ditunggangi oleh kekuatan oligarki melalui hubungan tukar-tambah (transaksi) antara ketua partai dengan pemodal yang tentu saja tujuannya pragmatis: kau berikan kami modal, kami berikan kau proyek.

Jangan heran apabila proses rekrutmen calon di internal partai politik (baik untuk maju di legislatif maupun di eksekutif) mayoritas diisi oleh mereka-mereka yang berduit. Bukan kader yang sudah lama berproses di partai, apalagi mereka yang memahami politik secara konkret.

Atau jangan-jangan, ini alasan kenapa Repol tidak menerangkan kepada siswa SMA itu tentang “hak dipilih” di dalam sub-bagian dari “hak politik”?

Kalau Repol hanya menjelaskan tentang hak memilih saja, Repol seperti sedang mengobjektifikasi siswa-siswa itu sebatas angka yang ditukar di bilik suara.

Siswa yang mereka kategorikan sebagai “Gen-Z” itu seakan-akan hanya boleh paham soal “memilih,” sedangkan soal-soal substansial tentang hak-hak lain, dibiarkan buta dalam ketidakpahaman.

Seperti yang ditulis Rocky Gerung: secara substansial, demokrasi harus tetap bertumpu pada prinsip “keutamaan warganegara,” yaitu jaminan filosofis bahwa politik tidak terbagi habis ke dalam electoral politics. Artinya, kewarganegaraan tidak boleh hanya direduksi sekadar ke dalam mekanisme politik Pemilu (Demokrasi dan Kekecewaan, 2009, hlm.22).

Antara Kebebasan dan Kewajiban

Pada kutipan kedua, ketidakpahaman Repol jelas terlihat pada kalimatnya yang kontradiktif. Di satu sisi, Repol katakan “Demokrasi itu adalah kebebasan,” tapi setelah itu ia ucapkan, “Masyarakat berkewajiban memilih pemimpin.”

Perhatikan, di awal ia sebut demokrasi itu adalah kebebasan, tapi setelah itu ia membantah perkataannya sendiri dengan mengatakan bahwa memilih itu adalah suatu kewajiban.

Jadi sebenarnya, demokrasi itu kebebasan atau kewajiban? Memilih itu hak atau wajib?

Kalau Repol katakan memilih itu wajib, maka demokrasi bukanlah suatu kebebasan. Karena kewajiban itu adalah tindakan yang apabila tidak dilakukan, berkonsekuensi pada sanksi.

Kalau ia sebut memilih itu adalah kebebasan, maka menurut pemahaman Repol, memilih bukanlah suatu kewajiban. Bukan begitu?

Ketidakjelasan sikap Repol sebagai calon bupati terhadap persoalan-persoalan fundamental seperti ini sangat memprihatinkan.

Sebagai orang yang terlibat aktif pada jabatan publik dan memiliki wewenang dalam proses rekrutmen calon pejabat publik, sebaiknya Repol dikelilingi oleh orang-orang yang punya pemahaman lengkap terhadap demokrasi. Bukan justru dikelilingi badut-badut politik yang sekadar berburu angpau pokir.

Rasionalitas Demokrasi

Demokrasi memang bukan fasilitas yang paling ideal untuk mencapai tujuan bernegara, tetapi dewasa ini, hanya demokrasilah yang paling mungkin untuk menjamin kesetaraan hak dan kebebasan warganegara.

Sayangnya, setelah tumbangnya kekuasaan otoritarian orde baru dan kita sudah menapaki reformasi selama puluhan tahun, budaya politik kita masih belum mengalami perubahan secara radikal.

Dalam gelanggang politik praktis di Kampar, politik seringkali diasuh oleh hal-hal yang metafisik, yang gaib, yang absolut, yang pada intinya tidak bersentuhan langsung pada kebijakan publik secara rasional.

Kesolehan pribadi seringkali ditampilkan untuk memikat umat sebagai upaya calon untuk melakukan penegasan identitas keagamaan. Jika ini dilakukan, maka potensi pembelahan sosial semakin besar dan membuat arena politik kita mengesampingkan akal dan tawaran kebijakan yang lebih logis.

Sudah menjadi rahasia umum, Repol menyeret UAS, seorang penceramah populer ke arena politik praktis. Dalam beberapa agenda politik, UAS terlihat hadir bersama Repol.

Pertama, pada saat acara deklarasi Repol maju sebagai bakal calon Bupati di Kampar Kiri. Kedua, pada saat sebelum keberangkatan pendaftaran pasangan Repol-Ardo ke KPU Kampar.

UAS bukan pejabat negara. UAS juga tidak digaji dari uang negara. Benar. Tapi, ini soal kebijaksanaan. UAS adalah penceramah agama Islam, yang agama itu bukan hanya agamanya UAS, Repol, dan pendukung-pendukungnya saja.

Sangat tidak bijak apabila keberadaan UAS yang mengasuh umat dengan dalil-dalil agama Islam itu ikut terlibat dalam kerja-kerja politik yang kita tahu dalam konteks Pilkada Kampar—ada banyak calon, yang keseluruhannya juga adalah orang Islam yang juga pernah berdosa, bahkan juga ada Repol di antara pendosa-pendosa itu.

Jika Repol menganggap demokrasi itu penting, maka Repol juga harus berkomitmen terhadap politik yang rasional dan penuh toleransi. Seperti yang ditulis lebih lanjut oleh Rocky Gerung, bahwa Kebenaran dalam politik adalah apa-apa yang dapat disepakati dalam batas-batas bahasa manusia (Demokrasi dan Kekecewaan, 2009, hlm.27).

Sebab itulah politik di dalam sistem demokrasi harus diucapkan dan dipraktikkan ke dalam bahasa sosial yang lebih logis dan susbtantif, bukan oleh bahasa akhirat yang tak dapat dijangkau oleh perut si miskin seperti khotbah-khotbah politik yang tidak menguntungkan bagi dapur mereka secara langsung.

Gambaran politik di Kampar itu seperti salah satu bait dari lirik lagu Jason Ranti yang berjudul “Serpihan Lendir Kobra”: “Tempe diganti rima, tahu diganti kosa kata, garpu dan sendok berontak pada struktur dan bentuk. Tapi nasi tetaplah nasi, perut kosong mana mempan dikasih puisi.”

Ziyad Ahfi adalah Pemimpin Redaksi ihwal.co 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *