Rekap Satu Bulan Kelas Penerangan

Catatan Kolektif dari Ruang Belajar dan Perlawanan

Kelas Penerangan—salah satu program dari simpul komunitas baca Tikum Buku—telah genap berjalan satu bulan. Ia tumbuh sebagai tawaran baru bagi Pekanbaru, kota yang belakangan ini mulai kering akan ruang diskusi yang terbuka dan dialektis. Dalam waktu singkat, Kelas Penerangan menjadi ruang singgah bagi lebih dari 30 rekan kelas; mereka yang datang bukan sekadar hadir, tapi ikut menyulut api obrolan, argumen, dan pemikiran.

Kelas Penerangan mulai dari yang paling dasar, Sejarah Filsafat dan Silogisme—tema perdana yang dibawakan oleh Om Baim. Tak mudah memang mengajak orang membicarakan Socrates di tengah bisingnya politik nasional. Tapi nyatanya, rekan-rekan kelas tetap antusias, menyambut wacana dengan gelak dan gumam kritis. Lalu, kelas berlanjut dengan pembahasan seputar Demokrasi, Sosial, dan Politik. Dua pertemuan awal ini menjadi pilar besar yang menopang diskusi-diskusi berikutnya.

Pada pekan ketiga, suasana forum berubah lebih cair dan tak kalah tajam. Topik retorika diangkat dengan tajuk yang menggoda: “Kiat Menghancurleburkan Buzzer”, dipantik oleh Aldo Muhes. Diskusi berjalan hangat, menyentuh soal argumentasi, bahasa, dan strategi berpendapat. Di sela forum, diselingi dengan bermain mini gim: mengidentifikasi akun buzzer (pendengung: KBBI) politik di media sosial, membedah alasan di balik dugaan itu, dan mengujinya bersama. Serius tapi tak kehilangan semangat main-main—begitulah kelas malam itu.

Kelas keempat mengangkat tema menulis sebagai alat menuturkan isi kepala, dengan tajuk “Aku Menulis Maka Aku Ada” yang dipantik oleh Andreas Mazland. Forum kali ini diakui memang lebih sepi dibanding kelas sebelumnya. Barangkali karena menulis masih dianggap berat, atau belum jadi kegemaran banyak orang, tapi, seperti biasa, yang hadir tetap menunjukkan semangat. Sepanjang kelas, obrolan berjalan akrab dengan membongkar relasi antara tulisan, identitas, dan keberanian bersuara.

Empat pertemuan ini tentunya bukan ruang bual-bual semata. Di dalamnya, peserta akan diasah nalar untuk mempertajam daya kritis, dan menguji keyakinan yang selama ini sering diumbar di ruang publik maupun media sosial. Kelas Penerangan hadir bukan untuk menggurui, tapi untuk mempertanyakan. Bukan untuk saling menyalahkan, tapi untuk saling menggugat; diri sendiri, juga dunia.

Kendati demikian, tak dipungkiri tentunya banyak hal yang perlu dibenahi. Waktu pelaksanaan yang selalu malam hari mungkin tidak ideal bagi sebagian orang. Ketersediaan pemantik yang masih terbatas juga menjadi tantangan tersendiri. Justru, ketika berada di titik ini, semakin memantik keinginan untuk terus belajar dan menyadari  bahwa ruang kritis mesti lahir dari kesadaran kontemplatif, dari kesediaan untuk terus memperbaiki—pelan-pelan, tapi pasti.

Kelas Penerangan adalah upaya kolektif yang lahir dari kemuraman bangsa: dari ketakutan yang ingin dilawan, dari kebungkaman yang tak bisa lagi ditahan. Di Tikum Buku sebagai penyelenggara Kelas Penerangan, penerapan inklusivitas adalah nilai utama. Ruang ini tak tunduk pada usia, pangkat, gelar, atau simbol kosong. Di sini, yang diutamakan adalah gagasan: isi kepala dan keberanian menyuarakannya.

Tidak muluk-muluk jika dikatakan bahwa Kelas Penerangan adalah pijar kecil di tengah gelapnya negeri. Cahaya mungil yang perlu dirawat bersama—agar tetap menyala, dan tak padam. Ini bukan milik satu orang, bukan pula segelintir orang. Kelas Penerangan milik kita semua. Untuk itu, mari terus suarakan kritikmu. Tawarkan idemu. Benturkan argumentasimu. Karena keberanian itu menular, dan kritisisme bisa menjadi warisan.

Penulis: Pramudia Pangestu 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *