Orang-orang yang Berladang di Punggung Kebudayaan (II)

Penulis: Andreas Mazland

Artwork by @mendingartsip

ihwal.co – Setelah pulang dari Bangkinang, saya risau tak berketentuan memikirkan tugas yang diberikan Baim dan Migos untuk menulis segala hal yang berkelindan dalam literasi, terutama budaya dan sastra. Tugas yang membuat saya bermenung-beruk seharian penuh, sampai-sampai perut saya didera diare hebat.

Lalu dengan dua tangan mencengkram perut, saya berlari lintang-pukang ke arah wc. Tentu saya tidak perlu menjelaskan tata-cara sebelum buang air besar, bukan? Namun biar agak intelek dan diterima oleh kalangan literat tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan, desa, dan RT/RW di mana saya bermukim, proses defekasi itu berlangsung agak ketat.

Beberapa kali saya mesti mengaktualisasikan nilai-nilai yang terinternalisasi dalam tubuh saya untuk mengeluarkannya. Meskipun begitu, kepala saya masih tertinggal pada kosakata “literasi”. Anjinglah!

Sebenarnya apa yang patut ditulis dan didiskusikan tentang literasi hari ini? Benar literasi itu penting, tapi bukan berarti literasi boleh menepuk-nepuk dada, “Akulah yang membentuk dunia,” sebagaimana penis menegang, “Dari sinilah peradaban bermula.”

Sebab terkadang orang-orang yang merasa dirinya adalah pegiat literasi merasa bahwa  kata “literasi” lebih penting lagi terhormat dari “penis”. Seolah penis adalah benda tumpul yang telah wujud kebiadaban dalam tiap hurufnya.

Lalu apa yang bisa kita bicarakan dari literasi sebagai alat tukar-tambah pengetahuan? Dialektika?

Di tempat saya bermukim, di mana pegiat literasi punya gelar menyerupai sebuah negara—mungkin nanti akan ada juga babinsa sastra, forkopimda budaya, bupati literasi, dan seterusnya dan seterusnya—kata “dialektika” adalah utopis. Setidaknya sampai dengan hari ini definisi dari dialektika masihlah percakapan dua arah yang telah disesuaikan dengan, dan dalam nama “sopan-santun”. Cuihhh!!

Tentu tidak semuanya begitu, ada beberapa orang dan komunitas yang masih bersetia dengan denotasi dari dialektika, tapi tidak bakal juga habis sepuluh jari untuk menghitung berapa jumlah orang dan komunitas yang seperti itu di sini.

Dan yang lebih menyedihkan lagi, dialektika berlain warna yang tumbuh secara natural dari ruang-ruang alternatif itu cenderung diasosiasikan sebagai gerombolan radikal juncto pengacau yang tidak layak diberdayakan dan diberi panggung.

Yang menunggu orang-orang seperti itu hanya pengasingan alias dibuang sepanjang adat. Kalau ada yang bisa selamat tentulah itu karena kemahirannya dalam berjejaring, bagi yang tidak, terpaksa mengamen di sudut-sudut bofet.

Akhhhh, perut saya semakin sakit!!!

Masalah kedua, literasi dewasa ini—sebagaimana hal-hal yang dianggap pekerjaan baik oleh manusia—juga telah dimasuki oleh gerombolan penyamun. Yang lebih cilakanya lagi, bandit-bandit itu terlembaga dalam institusi masyarakat adat, kebudayaan, kemanusiaan, agama, dan seterusnya dan seterusnya.

Benar-benar pengepungan total!!!

Dan untuk menyamarkan kejahatan itu, mereka telah menyediakan pakaian adat, atau menggunakan aksen suatu kebudayaan dari ragam budaya dan aksen yang ada di tempat saya bermukim. Tergantung sedang berada di wilayah kebudayaan mana mereka saat berbicara.

Tujuannya? Tentu saja mencari simpati masyarakat tempatan sambil memetakan apa-apa yang bisa dijual dari kebudayaan itu untuk diasongkan di sepanjang jalan dengan harga murah.

Bahkan mereka akan tidak segan-segan memobilisasi Tuhan, sebagaimana seorang tentara dimobilisasi dalam barisan militer, demi tercapainya kepentingan kelompok yang seide-segagasan dan senasib-sepenanggungan dengan mereka.

Sementara masyarakat adat yang berusaha diperjuangkan itu dapat apa selain kemiskinan yang membabi-buta masuk ke dalam ruang tamu, bilik dan dapur rumah mereka? Bisa jadi saya salah menafsirkan, barangkali kemiskinan itu adalah bentuk tawaduk, dan bagian dari salah satu cara mewujudkan falsafah Melayu yang adiluhung.

Tapi masalahnya adalah, kelompok masyarakat adat, terutama yang terkurung dalam hutan-hutan milik perusahaan di tempat saya bermukim, sesungguhnya jauh lebih miskin—mungkin berjarak seratus juta tahun cahaya—daripada gerombolan yang mengaku sedang memperjuangkan kebudayaan mereka dalam teks untuk proyek pemda, pemkot, pemprov sampai negara: kalau dalam istilah akademisnya, PANTEK’SCIENCETOLOGI IUSCURIANOVIT.

Sebenarnya saya ingin lanjut memikirkan bagian dari literasi apa yang hendak saya tulis, tapi segala hal yang patut dikeluarkan dari dubur saya sudah turun semua. Jadi saya sauk air dengan gayung lope beberapa kali untuk menyiramnya. Dan semoga tugas literasi yang diberikan Baim dan Migos hanyut sebagaimana taik itu hanyut, sehingga saya tidak perlu repot-repot memikirkan hal itu dalam tidur-dalam jaga [*]

*Andreas Mazland: Lahir di Banda Aceh. Menulis di berbagai media. Bergiat di Mazhab Panam. Emerging Balige Writers Festival, Borubudur Writers Festival, dan Payakumbuh Writers Festival dan festival sastra lainnya. Selain menulis, Andreas Mazland adalah Pengamat Kebijakan Nuklir, Pakar Sejarah Tumbuh-tumbuhan, dan Penyair Kamar Mandi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *