Budaya  

Nata Sukma: Titik Balik Episentrum Perlawanan Petani Atas Perjuangan Reforma Agraria

Catatan atas lakon pementasan Nata Sukma karya Tatang Rusmana

Foto: Pekan Apresiasi Teater (PAT) 7 di ISI Padang Panjang, 12 Oktober 2024

Melalui lakon Nata Sukma dan Sumpah Pemuda, ada banyak pelajaran, gagasan, dan metode gerakan perjuangan harus diulang kembali. Pemuda Indonesia, bersatulah, bangun kekuatan bersama dan jangan sampai kalian termakan sumpah.

Penulis: Husin a.k.a Ucin

Titik Balik Episentrum Gerakan Perlawanan

Melihat dan mengamati langsung lakon pementasan Nata Sukma, saya dan penonton lainnya dibawa jauh pada dimensi sejarah masa lampau. Ada pengetahuan sejarah pergerakan perlawanan petani pada masa kolonial, yang membuat saya mengulik dan membaca kembali catatan pergerakan perlawanan setelah usai pementasan.

Nata Sukma merupakan karya sastra tutur klasik Sunda atau juga disebut “Wawacan Nata Sukma” diadatasi bebas dan merdeka oleh Tatang Rusmana, penulis naskah lakon sekaligus bertindak sebagai sutradara dan pemain. Sebelum menjadi naskah lakon teater, karya ini adalah hasil penelitian dan sempat dipublikasikan pada Jurnal Mudra (2018), Technium Social Science Journal (2024), dan dibukukan pada book chapter Kajian Naskah Nusantara oleh Manassa, Yogyakarta dan Oceania Press (2024).

Kisah Wawacan Nata Sukma mengandung perlawanan patriotik, metaforis, liar, tapi sekaligus juga menggelitik dari tokoh “Nata Sukma”. Cerita ini cukup populer di masa lalu, sekitar tahun 1930-an hingga 1960-an di Kabupaten Bandung. Tokoh Nata Sukma ini dikisahkan berjuang, melampaui perang, dan melawan penindasan. Ia berhasil memperdalam ilmu, mengubah nasib, dan meraih kehidupan bermartabat setelah mengalahkan raja di lima Negara. Wawacan Nata Sukma merupakan reportase dan potret peristiwa yang terjadi pada masa “tanam paksa” dan berkaitan dengan politik identitas nasional kaum tertindas.

Oleh Tatang, lakon teater Nata Sukma ditulis kembali sebagai bentuk kritik terhadap praktik kolonial yang masih menjalar hingga sekarang. “Ini adalah bentuk protes dan sindiran saya terhadap kolonialisme yang dilakukan baik oleh pemerintahan Belanda maupun Jawa (Kesultanan Mataram) di tanah Sunda. Wawacan ini lahir pada tahun 1833 M, pada peristiwa “tanam paksa” untuk menanam kopi di Pangalengan (kabupaten Bandung-Jawa Barat). Sistem “tanam paksa” kopi Parahiyangan abad ke-18 yang disebut Preangerstelsel, yang diberlakukan di wilayah Parahyangan pada tahun 1720.

Rakyat diwajibkan menanam kopi dan menyetorkan hasilnya ke VOC melalui para bangsawan daerah. Hal ini sangat menguntungkan bagi Belanda dan membuat VOC menjadi produsen kopi terpenting di dunia, dengan kopi sebagai komoditas ekspor paling menguntungkan dari Jawa hingga pertengahan abad ke-19.

Kebijakan ini kemudian juga mengilhami lahirnya Cultuurstelsel atau tanam paksa pada tahun 1830 yang diberlakukan pada wilayah yang lebih luas dengan komoditas tanam yang lebih beragam. Kebijakan Preangerstelsel ini berlangsung hingga 1916 dan dikenal sebagai sistem “tanam paksa” (Cultuurstelsel) di Nusantara.

Pada praktiknya, sistem tanam paksa ini mengandung banyak kejanggalan yang akhirnya memicu perlawanan dari para petani Sunda yang membenci dan menolak menanam kopi. Peristiwa “penanaman paksa” menjadi inspirasi dan tergambar dalam Wawacan Nata Sukma. “Hal ini saya tulis kembali jejak sejarah kelam dan perlawanan masyarakat Sunda sebagai bangsa tertindas yang hingga hari ini praktik demikian masih terlihat jelas”, terang Tatang dengan tegas.

Sebagai titik balik episentrum gerakan perlawanan rakyat tertindas, tokoh epik Nata Sukma yang dikenal sebagai seorang pemimpin yang mampu bangkit dari kehancuran, ia tidak sendirian. Untuk menggerakkan alur dramatik yang progresif, Tatang menghidupkan kembali tokoh epik lainnya. Di dalam pementasan lakon teater Nata Sukma, penonton juga dapat melihat tokoh Multatuli, Marhaen, dan Para Marhaenis.

Upaya untuk menghidupkan kembali tokoh Multatuli dan Marhaen di dalam naskah lakon teater, merupakan pilihan yang sangat tepat dalam pertunjukan Nata Sukma. Multatuli dan Marhaen sebagai saksi zaman, mampu membawa alur dramatik yang lebih progresif. Sebagai irisan zaman masa lalu, Multatuli mengalami dan menyaksikan langsung ketertindasan apa yang dialami oleh masyarakat yang hidup di bawah pemerintah kolonial Belanda.

Multatuli, sebuah nama pena dengan nama asli Eduard Douwes Dekker yang lahir pada 2 Maret 1820 di Amsterdam, Belanda, adalah seorang penulis dan pegawai kolonial Belanda yang terkenal karena karyanya yang berjudul “Max Havelaar”. Karya novel ini diterbitkan pada tahun 1860 dan menjadi salah satu karya sastra paling berpengaruh dalam sejarah Belanda dan Hindia Belanda. Melalui “Max Havelaar,” Multatuli mengkritik keras kebijakan kolonial Belanda dan penderitaan yang dialami oleh rakyat pribumi akibat sistem tanam paksa.

Dekker menyaksikan secara langsung penderitaan rakyat akibat kebijakan panam paksa yang diperkenalkan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1830. Kebijakan ini memaksa petani pribumi untuk menyerahkan sebagian besar tanah dan hasil panennya kepada pemerintah kolonial, yang sering kali mengakibatkan kelaparan, kemiskinan, dan penderitaan yang meluas.

Selanjutnya, tidak kalah penting juga, tokoh Marhaen, saksi dari sebuah zaman yang chaos dan perlawanan yang heroik. Marhaen adalah seorang petani kecil yang memiliki lahan dan alat pertanian sendiri, tetapi hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya.

Meski memiliki tanah dan alat sendiri, Marhaen tetap hidup dalam keterbatasan ekonomi.Marhaen memang tidak mengalami eksploitasi dari pemilik modal atau tuan tanah besar, namun, kemiskinannya —yang disebabkan oleh keterbatasan skala dan kondisi struktural yang tidak adil— membuat ia dan keluarganya tak mampu hidup layak.

Marhaen merupakan gambaran umum dari keadaan mayoritas rakyat Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Banyak petani kecil, buruh tani, dan pekerja di Indonesia yang, meskipun memiliki alat produksi mereka sendiri, hidup dalam kemiskinan karena sistem kolonial yang memiskinkan.

Lewat sosok seorang petani kecil bernama Marhaen ini, Soekarno mendapatkan inspirasi perjuangan dan menjadikannya sebagai sebuah ikon dari cita-cita nasionalisme. Setelahnya, sebagaimana kita tahu, ikon itu menjadi ideologi-politik yang berfokus pada perjuangan kelas masyarakat kecil di Indonesia yang kita kenal dengan sebuatan Marhainisme. Di dalam naskah lakon Nata Sukma dapat tergambar dengan jelas dari tokoh para Marhaen.

Lakon Nata Sukma karya Tatang R. Macan hasil dari pengadaptasian yang penuh kebebasan, dari Wawacan Nata Sukma dapat saya rasakan bentuk protes dan perlawanan yang lugas melalui pementasan pada malam terakhir Pekan Apresiasi Teater (PAT) ke-7 Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang, 12 Oktober 2024, di Teater Arena Mursal Esten. Malam terakhir Pekan Apresiasi Teater, sebagai event reguler Prodi Teater ISI Padangpanjang yang memang telah lama vakum, dipenuhi penonton yang juga penasaran ingin menyaksikan langsung besutan sutradara Tatang R. Macan yang dikenal dengan ciri khas protes dan bentuk pernyataan yang lugas.

Gerakan Perlawanan Menggelegar Pada Nata Sukma

Gambaran perlawan sangat terasa diawal kemunculan. Saya melihat dengan jelas Nata Sukma (Dwi Setiawan), Marhaen (M. Andreanda), dan Para Marhaenis (M. Arif dan Ananda Rahmat) yang menggunakan masker respiratur dengan membawa orang-orangan sawah menyatukan kekuatan untuk menghadang musuh yang melakukan penindasan terhadap pekerja tanam paksa.

Membentuk komposisi, menguasai setiap ruang, dan bersiap-siap untuk menghadang. Kemudian secara bersamaan mereka berlari ke arah belakang panggung, menyerang layar berwarna putih yang di atasnya tergantung sebuah kursi sebagai simbol penguasa. Perlawanan diperkuat dengan cahaya panggung berwarna merah dan suasana musik yang penuh dengan kewaspadaan. Pada setiap bagian, Nata Sukma dan Marhaen secara bergantian dengan lantang menyatakan perlawanan dan penolakan terhadap kolonialisme yang memberlakukan tanam paksa yang menyengsarakan rakyat.

Setiap pergerakan dan ruang perlawanan, telah diamati sedari awal oleh Multatuli (Tatang). Kemudian pada bagian tengah, Multatuli muncul dari bagian belakang kiri panggung, menghampiri Nata Sukma, Marhaen, dan Para Marhaenis. Menjelaskan bobroknya pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Sebagai saksi zaman Multatuli memperkenalkan diri dan mengutarakan apa yang pernah disaksikannya.

“Tuan dan Nyonya yang terhormat, terimalah salam saya. Nama saya Multatuli, datang dari masa lalu. Saya ditugaskan di Rangkas Bitung, Ibu Kota Lebak Banten. Saya telah menyaksikan suata pemandangan yang penuh dengan kegilaan. Rakyat ditindas oleh Bupati mereka sendiri. Mereka hanya bisa bercerita dan tidak bisa tertawa, dan hak-hak pribadi mereka diperkosa demi kekuasaan”, begitu meyakinkan ia menjelaskan peristiwa masa lalu.

Setelah Multatuli menjelaskan pahitnya peristiwa masa lalu, kemudian Nata Sukma berkumpul di bale-bale yang di atasnya berkibar bendera merah putih. Di atas bale-bale, Nata Sukma menyampaikan kekesalan dan penderitaan yang dialami oleh rakyat.

“Alangkah sesatnya dunia ini… Korporasi-korporasi yang masih memeras keringat rakyat… dan kerumunan manusia yang masih berbenturan dengan kebisingan kota”. Tak lama berselang, Nata Sukma turun dari bale-bale, kemudian Marhaen dan Para Marhaenis memperagakan gerakan pekerjaan tanam paksa.

“Panen kopi dirampas, diperkosa, pada masa tanam paksa pada dua abad yang lalu, akibat kekejaman anjing penguasa Belanda yang kerasukan. Kita tahu, rakyat selalu dibantai, tanah Pasundan jadi kawasan Preangerstelsel dan seluruh Jawa jadi Cultuurstelsel.”, dengan penuh semangat pemberontakan. Di akhir cerita, Marhaen dan Para Marhaenis menjinjing tanaman padi di atas kepala mereka, diiringi lirih dendang dan bunyi sampelong dari pemusik untuk memperkuat suasana.  

Melalui peristiwa pemanggungan dari awal hingga akhir, saya dapat merasakan gerakan perlawanan dari lakon Nata Sukma. Tatang selaku pengkarya, sama dengan karya-karya sebelumnya, masih terus eksis dan lantang menyuarakan kritik terhadap ketidakadilan dan isu-isu sosial-politik kaum tertindas hingga kini. Saya teringat dengan apa yang juga pernah dilakukan oleh WS. Rendra, Bertolt Brecht, Augusto Boal, Dario Fo, serta banyak nama lainnya yang beririsan dengan itu semua.

Setelah dipertunjukkan di PAT 7, saya mendapat kabar dari sutradaranya, lakon Nata Sukma juga dipentaskan di UiTM, Selangor, Malaysia pada 16 Oktober 2024 dan di Gedung Kesenian Kota Palembang pada 27 Oktober 2024. Pertunjukkan itu juga dikabarkan mendapat sambutan baik dari masyrakat penonton dan mendapatkan beragam komentar.

Di UiTM misalkan, penonton dapat merasakan penderitaan sekaligus perjuangan yang tergambar dalam lakon Nata Sukma. “Saya sangat berempati dan tadi juga sempat menangis menyaksikan lakon Nata Sukma, tekanan yang dirasakan oleh Masyarakat juga dapat kami rasakan disini”, ujar seorang penonton yang tidak mau disebutkan namanya.

Berikutnya, lain hal pula yang disampaikan oleh salah satu penonton di Palembang. “Membentangkan karya lakon Nata Sukma, seperti memberikan pengetuhuan baru akan peristiwa Sejarah perjuangan masa lalu, meskipun nama-nama tokoh yang coba dihidupkan kembali, ada banyak pelajar muda atau Gen-Z yang tidak mengetahuinya.

Namun saya sangat mengapresiasi pertunjukan Nata Sukma, semoga para Gen-Z yang ada disini bisa mencari atau mengulik kembali tentang sejarah dan para tokoh yang ada di dalam pertunjukan.”, ungkap Pak Toton menjelaskan penuh antusias.

Dari apa yang diungkapkan oleh beberapa penonton di atas, saya sadar bahwasanya teater menjadi sangat penting untuk mengungkap relitas yang terjadi di Tengah Masyarakat. Terlebih lagi kepada Masyarakat yang merasakan langsung penindasan dan perampasan ruang kehidupan oleh “Kolonial Baru” yang telah menggurita di negeri ini. Kita tahu, ada banyak ruang kehidupan yang dirampas, kemudian memperjuangkan itu semua, nyawapun sebagai taruhan.

Kita bisa lihat, misalkan konflik antara masyarakat Nagari Kapa, Pasaman Barat, Sumbar, dengan PT PHP I yang terus berulang padahal sudah ada regulasi dan aturan melalui Peraturan Presiden No 62 tahun 2023 tentang Percepatan Reforma Agraria.

Ada lagi perjuangan yang dilakukan oleh Masyarakat Rempang yang berhadapan dengan pemerintah Batam demi meloloskan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City. Satu tahun telah berlalu, peristiwa 11 September yang memakan banyak korban dan kriminalisi terhadap masyrakat yang berjuang.

Ada banyak banyak konflik agaria yang dialami oleh masyrakat petani pemilik sah lahan secara turun temurun, diantaranya; Wadas (Jawa Tengah), Kota Baru (Lampung Selatan), Pakel (Jawa Timur), dan ada banyak lagi yang lainnya. Kasus dan konflik agraria yang terjadi di Indonesia, memberikan rapor merah kepada pemerintahan Jokowi.

Pemuda: Jangan Sampai Termakan Sumpah, Jadilah Garda Depan Perjuangan Rakyat

Menyaksikan langsung Lakon Nata Sukma, saya jadi banyak belajar dan membayangkan lakon Nata Sukma tidak hanya dipentaskan dan  disaksikan oleh pelaku seni dan kaum terpelajar saja. Namun lebih jauh, lakon Nata Sukma juga dapat disaksikan langsung ke dalam titik episentrum konflik agaria yang banyak terjadi.

Saya dapat merasakan bagaimana Nata Sukma, Multatuli, dan Marhaen telah berjuang sejak usia muda. Lalu membayangkan kembali pemuda Indonesia berada di garda depan perjuangan masyarakat yang mengalami langsung penindasan, penggusuran, penculikan, bahkan pembunuhan yang terus berulang.

Pemuda Indonesia jangan sampai termakan sumpah oleh ikrar pada kongres pemuda yang telah dikumandangkan bersama-sama. Kongres dan Sumpah Pemuda telah dikumandangkan sejak 1928, merupakan gerakan politik anak muda Indonesia yang lahir karena memiliki nasib yang sama akan ketertindasan yang dilakukan oleh kolonial Hindia Belanda. Pada awal abad ke-20 para pemuda telah berkumpul dan bersatu, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatranen Bond, dan lain sebagainya.

Melalui lakon Nata Sukma dan Sumpah Pemuda, ada banyak pelajaran, gagasan, dan metode gerakan perjuangan harus diulang kembali. Pemuda Indonesia, bersatulah, bangun kekuatan bersama dan jangan sampai kalian termakan sumpah.

Di akhir tulisan ini saya teringat sebuah pesan dari Haji Misbach “Nah, nyatalah bahwa Tuhan memerintahkan kita untuk menolong kepada siapa saja yang mendapat penindasan, hingga kita diwajibkan untuk berperang jika penindasan itu belum dihentikan.” Dari itu semua, kita perlu banyak belajar akan gerakan perjuangan.

Kesimpulan

Pertunjukan teater Nata Sukma oleh Tatang Rusmana menghadirkan sebuah lakon perlawanan yang sangat relevan dengan konteks ketidakadilan agraria masa kini. Dengan menghadirkan tokoh-tokoh seperti Multatuli dan Marhaen yang memiliki ikatan sejarah kuat, pementasan ini berhasil menggugah penonton untuk merenungkan sejarah perlawanan petani pada masa lalu, dan kaitannya dengan situasi sosial-politik masa kini. Nata Sukma menjadi simbol bagi perjuangan rakyat kecil yang tertindas serta menggugah empati dan kesadaran kita akan pentingnya reformasi agraria yang berkeadilan.

Pertunjukan ini juga mengingatkan bahwa perlawanan adalah bagian dari identitas bangsa yang harus terus hidup dalam diri generasi muda di tengah maraknya konflik agraria dan penindasan. Pertunjukan Nata Sukma menjadi panggilan bagi pemuda Indonesia untuk tetap kritis, bersatu, dan terus memperjuangkan keadilan sosial demi kemaslahatan rakyat.

Husin a.k.a Ucin adalah Pegiat Teater dan Film. Aktif di Nonblok Ekosistem, Pekanbaru.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *