ihwal.co – Pagi Salo, langit sedang sok romantis. Violet berpendar merah muda, seperti makeup norak seorang gadis belia. Udara masih menggeliat malas, tapi tawa-tawa Andreas, Ziyad, Bintang, Rudi, aku, dan Baim, udah bikin suasana hangat seperti kopi susu sachet dua sendok gula.
Hidup masih baik-baik saja, setidaknya sampai pukul 11 siang.

Kami—Windy, Baim, Andreas, dan aku—meluncur ke Pulau Belimbing. Bukan buat berjemur atau mancing, tapi mau mendatangi studio mendiang seniman seni rupa Kampar, Khalil.
Tapi seperti kisah cinta masa SMA, rute kami sedikit belok: mampir dulu ke Rumah Lontiok, rumah adat khas Kuok yang anggun tapi renta, berdiri menghadap ke Sungai Kampar.
Begitu turun dari motor, Andreas langsung memotret kotak infaq itu.
Katanya, “Ini potret budaya kita yang disandera proyek dan omong besar para seniman karbitan.” Kami mengangguk pelan, mungkin setuju, mungkin juga lapar.

Baim lalu mengajak kami masuk. Di kolong rumah, kami menemukan kenangan masa kecil dalam bentuk alat-alat permainan tradisional: enggrang, sendal pakiak, dan alat tumbuk gabah.
Museum rasa nostalgia. Naik ke dalam rumah, aroma kayu tua menyambut. Tapi bukan wangi heritage—lebih ke bau: “tolong renovasi aku segera.”
Andreas makin gelisah. Ia melihat bagian dapur yang nyaris ambruk. Lantainya keropos, dan langit-langit seperti menunggu waktu untuk jatuh.
Di dalam rumah, beberapa barang vintage dipajang seadanya: dayung sampan, lampu palito, dan benda-benda lain yang seolah ingin berkata: “Kami dulu penting, tahu?”

Kami lalu berubah jadi wartawan dadakan.
Andreas, Windy, dan aku sibuk memotret relief ukiran di tiang dan dinding rumah. Detailnya cantik, nyaris mengajak menangis.
Di sela-sela aktivitas itu, muncul wacana untuk mengangkat kondisi Rumah Lontiok ini ke level nasional—atau sekalian dunia.
Andreas menyebut nama Thendra, teman kami yang jago bikin film dokumenter, dan punya kredibilitas narasi yang bisa melelehkan hati.

Setelah cukup mengaduk-aduk emosi di Rumah Lontiok, kami kembali ke tujuan semula: studio lukis Bang Khalil. Tapi studio masih tutup.
Jadi kami mendarat dulu di warung kopi seberang jalan, tempat bapak-bapak lokal sedang bersantai melawan panas. Warung ini ternyata sudah generasi ketiga, dan menyajikan kopi dan cerita dengan kadar kehangatan yang pas.
Obrolan dengan para bapak ini meluas. Dari sejarah rumah panggung, soal kayu yang katanya masih tersimpan di Kalimantan, hingga kabar mengejutkan: di area ini mungkin ada makam sahabat Nabi.
Informasi ini datang dari mantan wali desa yang terlihat serius dan tidak sedang bercanda seperti kami. Kami terkesiap.

Sayang, aku telat buka buku catatan. Ya sudahlah, semoga memoriku tak keropos seperti lantai dapur Rumah Lontiok.
Tak lama, keponakan mendiang Khalil—datang membuka studio.
Studio itu seperti ruang permenungan, penuh lukisan yang belum sepenuhnya terawat. Keponakannya bilang: banyak karya Khalil tersebar di tempat lain.

Di sinilah, Baim berinisiatif untuk bikin suatu pameran penghormatan, sebagai bentuk perawatan ingatan dan apresiasi.
Kami semua siap membantu. Sebab, Khalil bukan pelukis sembarangan—dialah yang merancang tugu tiga ikan (toman, tapah, patin) di depan kantor bupati Kampar—jejak tangannya ada di ruang publik, dan mestinya juga di ruang ingatan kita.

Kami menutup hari dengan makan gorengan dan agar-agar dingin di tepi Sungai Kampar. Airnya mengalir tenang, seolah menghanyutkan rencana-rencana kami yang masih belum pasti.
Tapi satu hal jelas: hari ini kami melihat wajah sejarah—bukan yang megah dan dirayakan, namun yang ringkih dan menunggu dipeluk.

Kalau ada yang bilang sejarah itu suci, mulia dan dipenuhi keagungan kaku seperti orang sesak berak, bisa dipastikan mereka belum pernah singgah di Pulau Belimbing.
Di sana, sejarah bersandar di tiang rumah retak: yang menyerahkan nasibnya pada kamera anak-anak muda dan sepotong kotak infaq yang nyaris terlupakan [*]