Semua ini adalah ciri khas organized offender, pelaku yang berencana matang, terhubung dengan jaringan, dan tahu cara menghapus jejak. Jika kita membaca kasus ini dengan lensa psikologi forensik, maka wajar ada persepsi: kematian Arya bukanlah kematian yang terjadi secara spontan, melainkan kematian yang direncanakan sebagai bagian dari skenario yang lebih besar.
ihwal.co – Kematian selalu meninggalkan pertanyaan, terlebih ketika ia datang dengan cara yang misterius dan menimbulkan spekulasi luas. Begitulah yang terjadi pada Arya Daru Pangayunan, seorang diplomat muda Kementerian Luar Negeri yang tengah menapaki karier gemilang.
Namun, pada 8 Juli 2025, ia ditemukan tak bernyawa di sebuah kamar kos di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Tubuhnya kaku, wajahnya tertutup lakban kuning, pintu kamar terkunci rapat dari dalam, dan kunci berada di genggamannya.
Peristiwa ini seketika mengguncang publik. Apakah ini murni bunuh diri? Ataukah kematian yang sengaja diskenariokan agar terlihat seperti bunuh diri, padahal sesungguhnya sebuah pembunuhan?
Spekulasi muncul karena Arya bukanlah sosok biasa. Sebagai diplomat muda, ia berada dalam lingkaran isu-isu internasional yang rumit. Beberapa laporan menyebutkan ia sedang berhadapan dengan jaringan mafia perdagangan manusia lintas negara, sebuah sindikat yang dikenal kejam dan tak segan menghilangkan nyawa siapa pun yang menghalangi jalan mereka.
Dari sini, sebagian publik tak lagi membaca kematian Arya semata-mata sebagai tragedi personal, melainkan juga tragedi politik dan sosial yang sarat makna simbolis.
Untuk menyingkap tabir ini, psikologi forensik menjadi alat bantu yang penting. Curt R. Bartol dan Anne M. Bartol dalam Introduction to Forensic Psychology menegaskan bahwa psikologi forensik berfungsi memahami perilaku kriminal, motif tersembunyi, serta simbol-simbol non-verbal yang ditinggalkan di tempat kejadian perkara.
Detail pertama yang menonjol adalah lakban kuning yang menutupi wajah Arya. Jika kematian ini adalah bunuh diri, mengapa wajah yang ditutup rapat?
Dalam psikologi simbolik, tindakan menutup mulut atau wajah bukan sekadar instrumen teknis untuk menghentikan napas, melainkan representasi dari silencing act—tindakan membungkam secara harfiah.
Paul Ekman, pakar komunikasi non-verbal, berpendapat bahwa tubuh manusia sering dijadikan media untuk menyampaikan pesan yang tidak bisa atau tidak boleh diucapkan.
Dalam kasus Arya, lakban di wajah bisa dibaca sebagai pesan: “Diam, jangan berbicara.” Jika benar Arya menyimpan informasi penting tentang mafia perdagangan manusia, maka cara kematiannya adalah pesan keras dari pelaku bahwa siapa pun yang tahu terlalu banyak akan dipaksa bungkam selamanya.
Kamar yang terkunci dari dalam juga kerap dipandang sebagai bukti bahwa kematian ini adalah bunuh diri. Namun, dalam psikologi forensik dikenal istilah staging—pengaturan tempat kejadian perkara agar tampak seperti sesuatu yang lain.
John Douglas, profiler legendaris FBI, menegaskan bahwa pembunuhan terorganisir sering kali disamarkan agar tampak sebagai bunuh diri atau kecelakaan. Tindakan ini disebutnya sebagai staged crime scene. Mengatur agar pintu terkunci dari dalam, menaruh kunci di tangan korban, hingga menggunakan barang milik korban sendiri adalah teknik klasik untuk menyesatkan penyidik.
Dalam peristiwa Arya, skenario ini memiliki kemungkinan untuk dimainkan, karena setiap detail bisa dilihat sebagai seolah sengaja disusun untuk mengarahkan opini publik kepada kesimpulan tunggal: bunuh diri. Padahal, logika sederhana pun mempertanyakan: mungkinkah seseorang dengan wajah ditutup rapat lakban masih mampu memastikan pintu terkunci, lalu memegang kunci di tangannya sendiri?
Jejak digital Arya juga menyimpan ambiguitas. Polisi menemukan email lama yang menunjukkan bahwa sejak 2013 hingga 2021 ia pernah menuliskan keinginan untuk mati. Dari perspektif bunuh diri, ini bisa dianggap sebagai bukti kerentanan mental.
Namun, Bartol & Bartol mengingatkan bahwa catatan personal korban bisa saja dimanfaatkan pelaku sebagai cover story untuk menutup motif pembunuhan. Dalam literatur psikologi forensik, ini disebut equivocal death analysis—analisis terhadap kematian yang bisa dibaca dengan dua cara.
Fakta bahwa Arya pernah menulis keinginan mati tidak otomatis berarti ia bunuh diri. Justru, kerentanan ini bisa dimanfaatkan oleh pelaku untuk membuat narasi kematiannya terlihat wajar. Dengan kata lain, latar belakang korban digunakan untuk menutupi jejak pelaku.
Hilangnya ponsel utama Arya semakin memperkuat dugaan adanya keterlibatan pihak lain. Ponsel adalah saksi digital paling berharga di era modern—menyimpan percakapan, kontak, bukti transaksi, hingga jejak komunikasi penting.
Fakta bahwa ponsel itu tidak ditemukan di lokasi kejadian, melainkan terakhir kali terdeteksi mati di Grand Indonesia, adalah tanda yang janggal. Dalam forensik digital, ini dikenal sebagai evidence suppression—penghilangan barang bukti yang bisa membuka jaringan lebih luas.
Jika benar Arya sedang menghadapi mafia perdagangan manusia, maka menguasai ponsel utamanya adalah langkah pertama yang harus dilakukan pelaku untuk memastikan tidak ada informasi sensitif yang terbuka.
Bartol & Bartol menegaskan bahwa dalam kasus kejahatan terorganisir, manipulasi bukti digital adalah strategi yang paling sering digunakan, karena data elektronik adalah pintu masuk menuju kebenaran.
Rekaman CCTV memperlihatkan perilaku terakhir Arya: naik ke rooftop Gedung Kemlu dengan membawa ransel dan tas belanja, lalu turun tanpa barang tersebut, serta membuang kantong hitam. Jika ini dibaca dalam kerangka bunuh diri, mungkin dianggap sebagai ritual personal untuk “melepaskan beban.”
Namun, jika ditelaah dalam konteks kejahatan terorganisir, perilaku ini bisa mencerminkan compliant behavior—perilaku korban yang seolah mengikuti arahan pihak yang lebih kuat, biasanya karena intimidasi atau ancaman.
John Douglas menyebut hal ini sebagai victim staging by coercion, yakni korban diarahkan untuk melakukan serangkaian tindakan yang akan membingungkan penyidik, sebelum akhirnya nyawanya dihabisi. Barang-barang yang hilang, terutama ponsel utama, menunjukkan bahwa ada jejak yang sengaja dihapus.
Faktor pekerjaan Arya sebagai diplomat muda menambah lapisan kompleksitas. Diplomasi bukan hanya soal pidato dan pertemuan resmi, melainkan juga pertemuan dengan isu-isu gelap global: perdagangan manusia, narkotika, dan kejahatan lintas negara.
Teori instrumental violence dalam psikologi kriminal menjelaskan bahwa kejahatan terorganisir menggunakan kekerasan bukan karena dorongan emosi, melainkan sebagai alat untuk menjaga kepentingan ekonomi dan politik.
Membunuh Arya, bila benar ia memiliki informasi sensitif, adalah tindakan instrumental untuk melindungi jaringan mafia perdagangan manusia yang bernilai miliaran rupiah.
Bartol & Bartol menekankan bahwa kejahatan terorganisir jarang meninggalkan jejak emosional; yang tertinggal hanyalah pesan dingin dan simbolis. Lakban di wajah Arya adalah salah satunya—bukan sekadar menutup napas, tetapi menutup mulut, agar kebenaran tak pernah terucap. Dalam psikologi forensik, kasus seperti ini disebut equivocal death, yakni kematian yang bisa diperdebatkan apakah bunuh diri atau pembunuhan.
Shneidman menekankan bahwa untuk memahami kematian, kita harus mendengarkan “suara yang tersisa.” Suara itu bisa berupa catatan digital, perilaku terakhir, atau simbol di tempat kejadian. Jika kita mendengarkan suara Arya, maka lakban di wajahnya berteriak lebih keras daripada email lama yang pernah ia tulis. Ia adalah simbol bisu, tanda bahwa Arya bukan memilih diam, melainkan dipaksa untuk diam.
Psikologi forensik juga mengajarkan kita tentang modus operandi dan signature behavior. Douglas menulis bahwa pelaku pembunuhan sering meninggalkan pola tertentu. Dalam kasus Arya, pola yang muncul adalah: penghilangan bukti digital, pengaturan tempat kejadian agar tampak sebagai bunuh diri, dan penggunaan simbol membungkam.
Semua ini adalah ciri khas organized offender, pelaku yang berencana matang, terhubung dengan jaringan, dan tahu cara menghapus jejak. Jika kita membaca kasus ini dengan lensa psikologi forensik, maka wajar ada persepsi: kematian Arya bukanlah kematian yang terjadi secara spontan, melainkan kematian yang direncanakan sebagai bagian dari skenario yang lebih besar.
Kematian Arya Daru Pangayunan bukan sekadar hilangnya seorang diplomat muda, tetapi juga sebuah pesan. Pesan bahwa ada rahasia besar yang tak boleh terungkap, bahwa ada kekuatan gelap yang sanggup mengatur kematian seseorang hingga tampak wajar.
Lakban di wajahnya adalah metafora kolektif: bukan hanya Arya yang dibungkam, tetapi juga publik yang diminta untuk diam. Bartol & Bartol menulis bahwa dalam kejahatan terorganisir, kematian bukan hanya menghabisi tubuh, melainkan juga mengendalikan narasi. Dan dalam kasus ini, narasi yang didorong adalah: bunuh diri. Padahal, setiap detail justru berteriak tentang pembunuhan.
Begitulah seharusnya ilmu pengetahuan bekerja, skeptikal. Bisa jadi, di balik pintu kamar terkunci, ada banyak tangan yang tak terlihat. Di balik lakban kuning di wajah, ada pesan yang jelas: kebenaran berbahaya. Dan di balik kematian seorang diplomat muda, ada kemungkinan versi lain bertutur bahwa mafia perdagangan manusia sedang melindungi rahasia mereka dengan harga paling mahal—nyawa manusia.
Tapi sayangnya, penyelidikan soal kematian Arya ini dihentikan begitu saja oleh penyelidik. Sementara air mata keluarga yang ditinggalkan belum lagi kering, keputusan itu seolah menegaskan bahwa kebenaran dari kasus ini harus ikut dikubur bersama tubuh Arya [*]






