Martabat yang Ditonton: Spektakel Stadion dan Perang Ruang Publik Indonesia

Foto: @redstreamnet

Malam itu, 25 Maret 2025, Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) menjadi lautan suara dan warna. Indonesia mengalahkan Bahrain 1-0 dalam kualifikasi Piala Dunia 2026—gol tunggal yang menggetarkan tribun. Di utara, suporter La Grande Indonesia membentangkan koreografi raksasa: Garuda mengepakkan sayap, gunung dan awan membingkainya, “Show Your Dignity” terpampang dalam huruf merah menyala dengan kombinasi putih bercahaya. Di selatan, Ultras Garuda mengangkat spanduk “10YALITAS Mendukung INDONESIA,” tanda sepuluh tahun mereka berdiri tegak mendampingi tim nasional. Sorak sorai mengguncang beton stadion.

Tapi di luar tembok itu, di Karawang, gas air mata membakar tenggorokan, jerit demonstran memecah malam—mereka menolak RUU TNI yang disahkan lima hari sebelumnya, sebuah undang-undang yang membuka jalan bagi kembalinya peran militer dalam kehidupan sipil. Tiga mahasiswa terkapar, darah merembes di aspal, tim medis dilarang mendekat oleh barisan polisi. Di Jakarta, ban terbakar di depan DPR, asap hitam membubung ke langit yang kelam.

Di SUGBK, suporter meneriakkan kehormatan. Di jalanan, rakyat mempertaruhkan nyawa untuk martabat yang sesungguhnya.

Koreografi “Show Your Dignity” adalah tontonan yang memabukkan—tapi ia kosong, hanya bayang di bawah lampu sorot. Di jalanan, kehormatan bukan gambar yang dipajang; ia adalah napas tersengal sebelum peluru karet menghantam dan darah mengalir di trotoar. Stadion adalah panggung raksasa yang mencuri perhatian, menjadikan rakyat penonton yang terbius, sementara perang sejati untuk jiwa bangsa berkobar di luar—di Karawang, di Jakarta, di setiap inci tanah yang direnggut.

Stadion: Spektakel yang Membius

Hannah Arendt, dalam The Human Condition, menulis bahwa ruang publik adalah tempat manusia bertindak—berkata, bergerak, melahirkan kekuasaan dari kebebasan bersama. Di SUGBK, ribuan suporter bersatu: suara mereka bergema, tangan mereka mengangkat Garuda, keringat membasahi kaus merah-putih. Ini tampak seperti tindakan kolektif—tapi itu dusta. Tiket seharga ratusan ribu memagari siapa yang bisa masuk, petugas keamanan mengawasi setiap sorak, kamera siaran langsung menangkap dan menjual gambar itu ke layar-layar di seluruh dunia. Ini bukan ruang publik; ini adalah teater yang dikendalikan, panggung yang dirancang untuk membungkam makna sejati dari “dignity.”

Guy Debord, dalam The Society of the Spectacle, menyebut dunia modern sebagai “akumulasi tontonan”—kehidupan nyata digantikan oleh bayangan yang indah tapi mati. “Show Your Dignity” adalah tontonan itu: Garuda di tribun utara, megah dan tak bernyawa, adalah lambang yang disterilkan, dipotong dari darah dan keringat yang membentuknya. Sorak sorai suporter menggetarkan udara, tapi tak mengguncang kekuasaan. Di bawah lampu sorot, mereka menari dalam kepasifan—energi mereka tersedot ke dalam layar, bukan ke jalanan.

Tapi Arendt melihat celah: tindakan spontan bisa lahir di mana saja. Jika sorak itu berubah menjadi “Tolak RUU,” stadion bisa menjadi bara, namun malam itu, ia hanya asap yang hilang dibawa angin.

Jalanan: Perang Ruang Publik

Karawang, 25 Maret. Gas air mata menggigit retina, bau asam menusuk paru-paru. Demonstran—mahasiswa, buruh, rakyat biasa—berdiri melawan RUU TNI, tangan mereka menggenggam batu dan spanduk, suara mereka pecah oleh teriakan dan batuk. Polisi memukul mundur, tameng menghantam tulang, tiga mahasiswa jatuh—darah mereka membasahi aspal, tim medis dilarang mendekat.

Jakarta, hari yang sama. Di depan DPR, ban-ban terbakar, asap hitam menggantung berat, bau karet gosong mencium langit—rakyat menolak militer yang kini mengintip dari balik undang-undang. Amnesty International, pada 13 Maret, memperingatkan bahwa RUU ini adalah “ruang bagi kembalinya militerisme,” pintu menuju dwifungsi yang pernah menggenggam Indonesia selama 32 tahun.

Ini adalah ruang publik Arendt—tempat jiwa perlawanan bertemu risiko, tempat kekuasaan sejati lahir dari tindakan, bukan sorak sorai. Tapi ia sedang direnggut.

Siklus ini tua dan berdarah: 1965-66, militer naik ke kekuasaan dengan membantai setengah juta jiwa—tulang mereka terkubur tanpa nama. Reformasi 1998 merobek dwifungsi itu, mahasiswa ditembak di Trisakti, rakyat menggulingkan Soeharto dengan tangan kosong. Tapi impunitas tak mati: pembunuh Munir pada 2004 lolos, pelaku Trisakti bebas, dan kini, RUU TNI menghidupkan kembali monster itu. Di Bandung, 10 Maret, polisi membubarkan demonstrasi serupa—gas air mata lagi, darah lagi.

Jalanan adalah medan perang—kehormatan bukan slogan; ia adalah napas yang tersisa sebelum tubuh ambruk.

Garuda: Simbol yang Rusak

Garuda di tribun SUGBK—angka 45 di dadanya, gunung dan awan di belakang—adalah lambang kemerdekaan 1945, janji kebebasan yang ditulis dengan darah dan doa. Tapi ia rusak. Orde Baru mematahkan sayapnya selama tiga dekade, korupsi pasca-reformasi mencabik bulunya, dan RUU TNI kini membelenggu kakinya.

Suporter memujanya di bawah lampu sorot—tangan mereka terangkat, mata mereka basah oleh kebanggaan. Tapi di Karawang, di Jakarta, demonstran melawan untuk membebaskannya—tinju mereka menantang rantai yang tak terlihat di tribun.

Oktober 2024, dalam laga sebelumnya melawan Bahrain, wasit mencuri kemenangan Indonesia—skandal 90+6 menjadi 99 dalam keputusan yang memicu kemarahan nasional. Malam ini, kemenangan 1-0 terasa hampa—Garuda yang disoraki tak terbang; ia dipajang, burung dalam sangkar kaca. Dunia melihat: stadion penuh sorak, jalanan penuh asap, sebuah kontras yang menusuk.

Kehormatan sejati tidak ada di tribun; ia ada di luar—di mana darah mengalir, di mana napas bertahan melawan kabut kimia.

Membakar Spektakel

“Show Your Dignity” adalah candu—panggung yang membius rakyat sementara ruang publik mereka disembelih. Stadion adalah cermin: kita kuat, tapi lumpuh, bersorak untuk bayang-bayang kebesaran sementara jalanan berdarah.

Tapi suporter bukan massa yang harus diam. Stadion bisa menjadi ruang perlawanan, seperti di Amerika Latin, di mana sepak bola sering menjadi panggung protes politik. Apa yang terjadi jika tribun meneriakkan “Tolak RUU TNI”? Apa yang terjadi jika koreografi tidak hanya tentang Garuda, tapi tentang rakyat yang tak ingin diinjak?

Garuda tak akan terbang sampai spektakel itu runtuh—bukan dengan tepuk tangan, tapi dengan aksi. Indonesia bukan burung yang dipajang; ia adalah bara yang hidup dari darah dan tangis—dan bara itu akan membakar sampai ruang publik kembali menjadi milik kita.*

Editorial

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *