Dalam tulisannya “The Public Space Is A Battleground”, Saut Situmorang berkata, “Isu kepemilikan “ruang publik”, bagi saya, adalah sebuah isu fundamental dalam kehidupan sehari-hari publik Indonesia. Di situ terdapat banyak persoalan kepentingan yang pada dasarnya tidak bisa dipisahkan dari isu ada tidaknya sebuah sistem pemerintahan yang demokratis mengatur kehidupan sehari-hari warganegara.”
Dalam konteks ruang yang lain, seperti kampung, Komunitas Peduli Alam Kampar (KOMPAK) mencoba melihat lebih dekat ruang-ruang publik yang menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari warga. Kamis (8/5/2025), sore pukul 4 atau setelah salat Ashar, kawan-kawan KOMPAK, bersama Bisa Jadi Project dan kali ini kedatangan tamu dari Pondok Belantara menyusuri perkampungan di Kelurahan Pulau, Kecamatan Bangkinang, Kampar, Riau. Program rutin jalan sore hari ini dinamai dengan “JOJAK” yang merupakan singkatan dari Jojang-jojang Kampuong (Jalan-jalan ke Kampung).
Satu titik singgah yang menarik adalah di tepian Sungai Kampar yang dulunya pelabuhan penyeberangan warga dengan menggunakan rakit tradisional. Pelabuhannya menyisakan rangka-rangka besi persegi yang sekarang dijadikan arena anak-anak bermain ketika mandi di sungai. Di atasnya masih melintang tali-tali yang membantu mengarahkan rakit tetap di jalurnya saat menyeberang sungai. Tali-tali itu tetap terlihat kokoh di atas sungai, meski tak lagi berfungsi. Besi rangka rakit sekarang sudah menepi ke pinggiran sungai, tergeletak di atas semen retak karena abrasi sungai. Semen-semen tersebut, menurut penuturan warga adalah bekas proyek semenisasi yang dibangun Pemerintah setahun yang lalu.
Secara fungsional, barangkali, rakit penyeberangan ini tidak berfungsi karena kalah oleh pembangunan jembatan-jembatan yang melintasi Sungai Kampar. Hampir setiap Kecamatan telah terhubung oleh jembatan besar dan jembatan “gantung” permanen. Jembatan tersebut, tentu lebih efektif dari jembatan rakit. Hal yang terlihat wajar, sebab orang-orang modern amat membutuhkan efektifitas waktu dan biaya. Sesuatu yang wajar belaka.
Namun, ada satu hal yang sekiranya kita tak boleh luput, yakni sebagai mana rakit penyeberangan, Sungai Kampar itu sendiri pastinya adalah ruang publik yang menyisakan ingatan kolektif warga kampung terhadapnya. Sungai pernah menjadi ruang publik yang menjadi nadi bagi kehidupan warga. Di sungai itu warga beraktifitas sehari-hari, seperti MCK, mencari ikan, jalur transportasi, pertemuan warga, arena bermain anak-anak, bahkan ritual keagamaan (Balimau Kasai).
Pertanyaan pentingnya adalah apakah kondisi rakit yang terbengkalai itu adalah fenomena atau penanda sungai tak lagi dianggap sebagai ruang publik yang penting oleh warga? Jika pertanyaan asumtif itu benar, maka kita layak merisaukan atas akibat yang dapat ditimbulkan terhadap sungai dari ketidakpedulian itu. Abrasi, penambangan pasir dan batu sungai, pencemaran, dan lain sebagainya tentu tak boleh kita abaikan. Sungai tidak hanya ruang publik, ia juga sempadan alam, serta penyangga penting yang membentuk ekosistem kehidupan warga. Ia tak boleh diabaikan, apalagi dirusak.
Peduli Alam Berbasis Kesadaran Menjaga Ruang Publik
Setelah salat Magrib di Masjid Al-Fuqara’, Pulau Tengah, Desa Ganting, Kecamatan Salo, Kampar, Riau, kami menyudahi JOJAK dan bergerak ke titik kumpul, yakni Warkop Rindang, Jalan Wiratama, Belakang Kantor NU, Kelurahan Langgini, Kecamatan Bangkinang Kota, Kampar, Riau.
Pada pukul 9 malam, kami melanjutkan kegiatan yang dinamai dengan Sering Sharing, kegiatan diskusi rutin yang malam itu merupakan yang ke-12 kalinya. Tema diskusinya ialah “Peduli Alam Berbasis Kesadaran Menjaga Ruang Publik” dengan pemantik Awang dari Pondok Belantara. Awang tidak sendirian, ia ditemani Ibnu Shem, seorang musisi yang juga berproses di Pondok Belantara.
Mereka berdua bercerita dan berbagi pengalaman tentang Pondok Belantara yang telah melewati 11 tahun perjalanannya. Pondok Belantara awalnya adalah tempat nongkrong dan hepi-hepi. “Karena kita bersentuhan langsung dengan kenyataan hidup sehari-hari, terutama di Kota Pekanbaru, tentu kita belajar dari segala problematika kotanya. Kita juga menjalin pertemanan dengan berbagai latar belakang sosial masyarakat, terutama anak-anak jalanan, dan hidup bersama masalah sosialnya, lalu pengalaman kita secara kolektif terbentuk dari situ,” ujar Awang.
Berbagai kegiatan dilakukan oleh kawan-kawan di Pondok Belantara, mulai dari lapak baca, mengamen dengan bayaran buku-buku bekas yang dikumpulkan, hingga aktifitas lingkungan, terutama mendorong kepedulian atas pelestarian alam.
“Saya merasakan Pondok Belantara tidak hanya sebagai rumah tempat pulang dan berkumpul bersama kawan-kawan yang sudah dianggap seperti keluarga, tapi dari interaksi di Pondok itulah banyak karya-karya saya lahir,” ujar Ibnu sembari menceritakan pengalamannya berproses di Pondok Belantara.
“Terkait tentang tema diskusi kita, manusia dan Kota atau kampung tempat ia tinggal tentu tak bisa dipisahkan. Manusia dan alam adalah satu kesatuan ekosistem yang penting untuk selalu menjaga interaksi yang tidak saling merusak. Seperti saya yang lahir dan dibesarkan di Kota Pekanbaru, tentu saja saya amat mencintai kota saya, karena sebagian besar ingatan saya melekat di sana. Seperti kegiatan kita tadi sore dalam JOJAK, menyusuri kampung sembari merawat ingatan kolektif kita, dan tinggal lagi bagaimana caranya kita dapat menyusun program yang berkesinambungan untuk, pada akhirnya, menjaga kampung kita dengan menjaga ruang-ruang publik kita,” jelas Awang.
Amex dari Bisa Jadi Project menambahkan bahwa perlunya menyusun program-program yang terukur untuk membangun rasa kepedulian kita terhadap lingkungan. Program tersebut bisa dilakukan dengan melihat latar belakang kawan-kawan yang aktif. Seperti kawan-kawan berlatar dunia seni, tentu kita akan buat program terkait seni, baik itu musik, teater, lukis, dan sebagainya. Sehingga usaha membangun ingatan kolektif warga atas ruang publik itu dapat mendorong kreatifitas anak-anak mudanya.
Khairul Azmi, yang juga dikenal sebagai Ketua Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI) Kabupaten Kampar, berkata, “Pengurus FPTI ini sebagian besar berasal dari anak-anak MAPALA, jadi sangat dekat dengan aktifitas di alam. Saya melihat, untuk menumbuhkan kesadaran akan kepedulian terhadap lingkungan ini, kita perlu terus menggalakkan diskusi-diskusi kritis seperti ini. Menciptakan SDM yang kritis terhadap lingkungan juga tak kalah penting, mungkin sama nilainya dengan membuat sebuah karya,” ujar Migos, panggilan akrabnya.
Dari kegiatan JOJAK dan Sering Sharing yang diadakan oleh KOMPAK bekerjasama dengan Bisa Jadi Project dan Pondok Belantara ini, kita tentunya berharap bahwa kegiatan ini harus terus dilakukan dengan program dan materi yang terukur serta pencatatan yang rapi. Kita berharap segala hal baik ini dapat berumur panjang, bukan saja meninggalkan jejak kebaikan, tapi juga mencipta makna. Sebagai mana yang dikatakan dengan penuh oleh Awang, “Sebagian besar ingatan saya berada di kota tempat saya lahir dan besar, dan, tentu saja, saya sangat mencintainya.”
Reporter: Baim
Fotografer: Amex
Editor: Baim