FPN Pekanbaru Suarakan Solidaritas Palestina di Hari Peringatan Kelahiran Pancasila

Free Palestine Network (FPN) Pekanbaru menggelar kegiatan Berpuisi dan Berdiskusi dengan tajuk, “Pancasila Hari ini; Mendukung Kemerdekaan Palestina” pada Minggu, 1 Juni 2025, di Barak Coffee, Marpoyan, Kota Pekanbaru.

Kegiatan ini dihadiri lebih dari 15 orang peserta. Melibatkan beberapa mahasiswa dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) PK UIR, PPMJR (Pemuda Jawa Riau), aktivis, seniman dan masyarakat umum. Diskusi ini juga menghadirkan dua pembicara, yaitu Mahdiya Az Zahra, sebagai penulis, dan Husin, selaku seniman.

Kegiatan ini dibuka dengan pembacaan puisi dari Awang, seorang pelaku seni di Pekanbaru dengan judul Jika Aku Harus Mati. Sebuah puisi karya Refaat Alareer. “Jika aku harus mati”, Awang menyeru lantang, “biarkan kematianku membawa harapan, biarkan kehidupanku menjalin cerita.”

M Haidar, selaku Koordinator FPN Pekanbaru, yang juga bertindak sebagai moderator dalam kegiatan ini mengurai latar belakang diskusi ini. Dalam kata pengantarnya, ia mengatakan, “Momen 1 Juni yang bertepatan dengan peringatan hari lahir pancasila ini, kita ingin menulusuri dua gagasan besar; yaitu Pancasila dan Palestina, dengan pendekatan sejarah yang mengikat keduanya.”

Ia lalu melanjutkan, “Apakah pancasila hari ini hanya sebatas foto simbol garuda yang terpasang di dinding? Apakah ia cuma paradigma yang macet, sehingga surplus serapan dan minus tindakan? Atau sebetulnya ia menagih amal konkret, saat ia dihadapi dengan permasalahan global hari ini?”

Mahdiya Az Zahra memperkenalkan diri sebagai penulis di berbagai media online–yang dalam satu setengah tahun terakhir ini fokus menulis persoalan Palestina, mengajak peserta diskusi untuk melihat akar masalah sebetulnya yang terjadi di Palestina.

Ia mengungkapkan, “Bahwa yang terjadi di Palestina hari ini adalah blokade oleh pendudukan israel. Sehingga bantuan kemanusiaan yang hendak masuk ke Gaza, kini terhambat karena blokade. Seperti ditutupnya pintu perbatasan Rafah atau perbatasan Erez.”

Dalam penjelasannya, Mahdiya sempat menyoroti tentang bantuan tersebut. “Ya, memang ada berita yang mengatakan beberapa bantuan telah masuk ke Palestina. Tapi tahukah teman-teman, bantuan masuk apa yang dimaksud? Ternyata bukan bantuan makanan, justru kain kafan. Hanya bantuan kain kafan yang diperbolehkan masuk.”

Ia juga menegaskan, bahwa yang terjadi di Palestina sama sekali bukan konflik agama antara Islam dan yahudi, atau konflik antar etnik yahudi dengan arab. Menurut Mahdiya, yang terjadi di Palestina hari ini murni genosida.

Sementara Husin, pria yang kerap disapa Ucin ini, dalam penjelasannya menyinggung terkait perbedaan yahudi dan zionisme sebagai ideologi. Menurutnya, gerakan zionisme sebetulnya tidak mewakili agama yahudi. “Hari ini kita tersadarkan. Zionisme ternyata memoduskan agama sebagai suatu kekuatan yang kemudian ingin menguasai dunia.”

Selanjutnya Husin juga membahas antara tawanan yang diculik milisi zionis dengan tawanan tentara hamas. Soal perbedaan tajam setelah mereka bebas. Menurutnya, saat tawanan bebas dari penjara zionis, seseorang mengalami perubahan fisik yang begitu parah.

Sedangkan hamas, katanya, justru memuliakan tawanannya, dengan memberi makan dan merawat kesehatannya. Penjelasan ini sebagai muqaddimah Husin, yang kemudian membacakan puisi berjudul Tawanan yang Menangis dan Tertawa.

“Tuhan telah mati berkali-kali”, ia berteriak, “di atas tanah yang dijanjikan, atas nama Tuhan, kau telah menghisap darah syuhada. Tuhan telah kau bombardir luluh-lantah, kemudian mati berkali-kali.”

Saat langit sore mulai gelap, diskusi menjadi lebih padat. Peserta mulai saling bicara, menyampaikan masing-masing pandangannya. Mulai dari pancasila yang memuat spirit besar anti-kolonialisme, tentang tidak realistisnya two state solution, terkait PBB dan organisasi dunia seperti OKI yang tidak memberi banyak harapan, serta peran sipil dalam memberi tekanan kepada pemerintah.

Alfu, seorang Mahasiswa PMII UNRI, mengingatkan peran mahasiswa yang semestinya harus aktif mempropagandakan solidaritas Palestina semasif mungkin. Senada dengan Rahmat, pemuda aktivis PMII UIR, yang menekankan pentingnya mahasiswa dalam mendukung gerakan boikot terhadap produk-produk pro-zionis.

Selain itu, diskusi ini juga menyoroti bagaimana kebijakan israel yang kerap tidak sah di mata hukum internasional. Termasuk tidak legalnya israel sebagai entitas zionis. “Apa yang dilakukan israel itu sudah melanggar hukum”, ungkap Nur Hidayah, salah seorang peserta diskusi.

Diskusi berlanjut hingga membahas permasalahan di Indonesia sendiri. Salah satunya adalah mengenai banyaknya opini yang mengatakan: kenapa sibuk memikirkan Palestina sedangkan Indonesia sendiri butuh bantuan. Mahdiya menyampaikan, “Mendukung kemerdekaan Palestina bukan berarti abai terhadap pemasalahan Indonesia.”

“Palestina adalah madrasah kita untuk belajar tentang arti perjuangan dan kepekaan sosial. Maka, seluruh pengetahuan yang kita dapatkan dari perjuangan  Palestina bisa kita untuk memperjuangkan apa yang terjadi di dalam negeri,” lanjut Mahdiya.

“Misalnya, kasus anak SD yang dibully hingga tewas karena berbeda agama dan suku di Riau. Kasus ini harus kita kawal, kita angkat, dan kita jadikan ruang-ruang diskusi untuk mengajak orang semakin terbuka pemikirannya,” terangnya kemudian.

Langit sudah gelap dan kegiatan segera ditutup. Beberapa yang hadir ada yang menyampaikan harapannya agar diskusi seperti ini terus berlanjut dan berlipat ganda. Agar supaya ruang-ruang publik tidak sepi dan forum diskusi terus diadakan sebagai upaya merawat nalar tetap kritis.

“Kita belum membela Palestina, belum memberikan apa-apa untuk mereka. Tapi Palestina justru sudah memberikan sesuatu untuk kita. Palestina mengumpulkan kita di sini untuk bertemu di dalam sebuah diskusi,” tutup moderator dengan disambut semangat peserta yang hadir.

Kontributor: Haidar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *