ihwal.co – Dunia sedang genting. Nasib jutaan manusia terancam. Saban hari layar kaca tak berhenti mengabarkan berita duka. Rudal berjatuhan seperti hujan. Kota-kota hancur. Jalan-jalan putus. Anak-anak menangis: Mengubur mimpi mereka di depan reruntuhan gedung dan jasad seorang ayah yang tewas akibat perintah perang dua-tiga orang kepala negara yang sedang dilanda puber ketiga.
Di tengah situasi dunia yang gawat-darurat seperti itu, di Indonesia justru terjadi pengepungan total! Lembaga-lembaga negara berlomba mengangkat tameng dan senjata untuk berhadap-hadapan dengan warganya sendiri: Menteri Kebudayaan melawan korban pemerkosaan, TNI melawan demonstran Indonesia Gelap, Polisi melawan tim medis aksi Mayday, dan DPR melawan penggugat UU TNI.
Menteri Kebudayaan Vs Rakyat
Fakta sejarah tentang pemerkosaan massal Mei 1998 mau dihapus dari memori kolektif kita dengan menguburnya melalui proyek penulisan ulang buku sejarah.
Ketika rakyat membantah dengan menyodorkan berbagai hasil investigasi hingga pernyataan resmi kepala negara (BJ Habibie), Menteri Kebudayaan kita yang pintar dan terverifikasi punya ijazah kuliah, baik lokal maupun inter-lokal itu, menepisnya dengan akal-akalan: “Sejarah perlu bersandar pada fakta hukum dan bukti yang teruji secara akademik dan legal.”
TNI Vs Rakyat
Di sisi lain, militer yang kita harap siaga menghadapi situasi perang dan ancaman-ancaman yang datang dari luar, justru sibuk mencari hantu-hantu yang mereka sebut “dalang” pada aksi #TolakRUUTNI dan #IndonesiaGelap. Waw.
Seolah-olah setiap dari kita yang menyuarakan hak sebagai warga negara kesatuan Republik Indonesia yang demokratis, berkerakyatan, dan dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan ini, secara langsung dituduh sedang membentuk serdadu-serdadu rahasia, atau berserikat untuk melawan para penjajah.
Bahkan tak tanggung-tanggung, suara-suara kita itu dianggap merupakan kerja-kerja yang bukan datang dari pikiran kita sendiri, tapi dipengaruhi oleh pihak asing. Seolah bagi siapapun yang mengkritik kebijakan penguasa adalah generasi bodoh dan tak berakal.
Menariknya, yang ditugaskan untuk melawan narasi itu bukan intelektual istana atau buzzer-buzzer kampus, tapi yang berbaju dinas, berpangkat, bersenjata, berambut cepak dan selalu siap, Ndan!
Polisi Vs Rakyat
14 warga sipil ditangkap pada aksi Mayday. Termasuk tim medis yang bertugas menyelamatkan massa aksi dari pentungan polisi. Bahkan, mereka ditersangkakan. Digiring ke meja hukum dengan delik berlapis: melawan hingga tidak mematuhi perintah petugas ketika hendak dibubarkan.
Sangat taat hukum dan demokratis sekali sipil-sipil yang dipersenjatai itu. Salut.
Dan ketika membubarkan aksi massa, menurut pengakuan para peserta dan korban kriminalisasi itu, Polisi diduga melakukan kekerasan hingga pelecehan. Sangat pancasilais sekali, bukan?
DPR Vs Rakyat
Tidak didengar ketika memprotes melalui aksi jalanan, sejumlah akademisi, mahasiswa, dan masyarakat sipil yang menolak UU TNI menggugatnya ke Mahkamah Konstitusi. Meski dihambat dengan berbagai upaya intimidasi, gugatan tetap berjalan.
Tapi nahasnya, DPR yang secara konvensi adalah anjing penjaga rumah kita, justru menggogong dan menggigit tuannya sendiri. Bahkan memperlakukan kita sebagai penyusup. Sebab dalam agenda sidang mendengarkan keterangan resmi dari pihak pemerintah, yang diwakili oleh DPR dan Menteri Hukum, justru mereka menyebut para penggugat “tidak punya legal standing.”
Padahal alasan penggugat mempersoalkan UU ini jelas: karena ia dibuat dengan proses ugal-ugalan, yang mengangkangi partisipasi publik, dibahas diam-diam dan secepat kilat.
Dan tentu saja, sebagian substansinya mengganggu hak sipil: memperluas kewenangan TNI untuk menduduki jabatan sipil (dwifungsi) dan memperluas kewenangan Operasi Militer Selain Perang (OMSP), dan seterusnya, dan seterusnya.
Selain seorang infanteri bisa ikut serta dalam membuat keputusan politik yang seharusnya menjadi ranah sipil, Undang-undang ini juga memungkinkan dua orang pemuda pengangguran tamatan Universitas Pertahanan di tahun 2045 nanti, tiba-tiba didatangi panser-panser buatan Pindad dan dikepung oleh ratusan brigade militer di dalam kos sempitnya hanya karena ia tidak hafal pancasila dengan dalih Operasi Militer Selain Perang (OMSP).
Ketika hal itu terjadi, maka semua definisi yang terkandung dalam negara pancasila cum demokratis cum totalitarian dan beragama ini tinggal pepesan kosong. Dengan begitu, sudah final bahwa di tengah kecamuk perang yang akan membawa kita pada Perang Dunia III, NKRI justru memusuhi rakyatnya sendiri. Amazing [*]






