Kamis (26/6/2025), pukul 4 sore di Bangkinang Kota, Kabupaten Kampar, Riau, Bintang Islami memulai Aksi Kamisan Kampar untuk pertama kalinya. Ia menggelar lapak baca, membawa empat poster dari kertas karton, dan sebuah payung hitam.

Di atas trotoar, di Bundaran Tugu Ikan, dipilihnya sebagai lokasi untuk aksi sore itu. “Lokasi ini paling pas untuk melakukan aksi, karena lebih mudah menarik perhatian banyak orang,” ujarnya ketika ditanyakan tentang alasan pemilihan lokasi aksi.
“Lalu, mengapa cuma sendirian?” tanya saya sedikit kepo.

“Saya memaknai Aksi Kamisan -yang paling utama- bukanlah pada sisi kuantitas, tapi soal nafas dan nilai. Ke depannya, peserta aksi mungkin akan bertambah atau akan tetap sendirian, dan itu bukan soal. Sebab, yang jadi pertanyaan penting adalah: Apakah pesan yang disuarakan oleh Aksi Kamisan akan terus hidup dan bergema atau tidak?” jawabnya.
“Apa pesan yang ingin disampaikan oleh kehadiran Aksi Kamisan Kampar ini?” tanya saya lebih lanjut.

“Dalam salah satu wawancara, Ibu Maria Sumarsih, pelopor Aksi Kamisan, mengatakan bahwa sepanjang di sekitarmu ada permasalahan rakyat, Aksi Kamisan bisa diadakan. Jangan diam ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat. Kalau diam saja, akhirnya kita menjadi rakyat tertindas. Jadi, atas dasar itu, saya kira, kita mencoba mengaktivasi, tidak hanya ruang publik, tapi juga percakapan publik untuk terus bersuara dan menyuarakan persoalan-persoalan rakyat,” jelas Bintang.
“Bukankah untuk membuat suara rakyat itu lebih bisa didengar, kita juga butuh suara-suara yang ramai? Artinya kita juga butuh aksi yang diikuti oleh banyak orang?” tanya saya lagi.

“Mobilisasi massa aksi dalam jumlah yang besar dan sporadis, terbukti hanya memberi efek kejut sementara dan tak memiliki daya tahan. Saya juga tak ingin jadi seseorang yang dianggap penting di dalam aksi ini. Aksi ini bukan tentang saya atau siapa saja individu yang terlibat nantinya. Mau orangnya ramai ataupun sepi. Karena aksi yang diperlukan hari ini adalah kehadiran yang terus menerus. Ini ihwal titik tekan, bukan panggung demonstrasi belaka. Dengan Aksi Kamisan Kampar ini yang kita inginkan adalah ritme yang terus menerus yang menolak diam dan senantiasa melawan,” ujarnya.
“Apa isu yang disampaikan pada aksi hari ini?” tanya saya kembali.

“Soal lingkungan. Di Kampar, dan juga di Riau dan banyak daerah di Indonesia sedang marak isu kehancuran hutan dan lingkungan. Deforestasi terjadi di banyak tempat, seperti di Balung, Pulau Gadang, Rimbang Baling, Kabupaten Kampar. Tesso Nilo, Hutan Kalimantan , hingga Raja Ampat dan Hutan-hutan di Papua. Ini soal Negara yang sudah tak punya harga diri di hadapan para mafia tambang dan sawit. Padahal, yang akan kena dampak dari kerusakan alam ini adalah manusia dan kepunahan flora dan fauna yang menjadi bagian dari ekosistem alam ini. Keuntungan yang didapat dari eksploitasi alam ini, tidak akan sebanding dari bahaya yang ditimbulkannya. Apalagi, jelas bahwa yang paling menikmati hasil dari kerusakan lingkungan ini adalah para mafia tambang dan hutan. Kita ingin negara hadir untuk menangkap para mafia tersebut dan sekaligus memperbaiki kerusakan lingkungannya,” tegas Bintang.
“Apa yang ingin disampaikan untuk Aksi Kamisan Kampar berikutnya?” tanya saya.

“Saya mengajak kepada rakyat sipil, khususnya di Kampar untuk bergabung bersama Aksi Kamisan Kampar di seputaran Tugu Ikan atau Taman Kota setiap Kamis sore pukul empat. Mari berkumpul membangun kolektif rakyat,” ajaknya.
Di antara hingar bingar lalu lintas sore itu, sesekali saya mendengar teriakan “Hidup korban! Jangan diam! Lawan!” Tidak terlalu keras, memang. Masih kalah dari deru knalpot kendraan yang lalu lalang. Tapi, tidak bukan berarti belum. Saya harap teriakan itu akan semakin membesar, tidak hanya volumenya saja, juga -sebagaimana yang dikatakan Bintang- pada nafas dan nilai.

Reporter: Baim