Gerakan politik pemuda hari ini seperti jauh panggang dari api. Mereka yang seharusnya punya keberpihakan konkret terhadap isu dan penderitaan rakyat justru semakin berjarak terhadap penderitaan-penderitaan itu. Apakah hal ini karena pemuda sudah tidak lagi bagian dari gerakan rakyat? Atau karena memang mereka sudah menjadi bagian dari elit yang ikut melahirkan penderitaan-penderitaan rakyat itu?
Penulis: Sarah Azmi*
“Perceraiberaian itu wajiblah diperangi, agar kita bisa bersatu.” Begitu salah satu kutipan sambutan Sugondo Djojopuspto dalam pembukaan Kongres Pemuda pada rapat pertama di tanggal 27 Oktober 1928.
Sumpah Pemuda adalah gerakan politik pemuda yang lahir karena memiliki kesamaan nasib— sama-sama tumbuh di bawah kolonialisme selama berabad-abad. Gerakan itu mengkristal pada awal abad ke-20 yang memunculkan kalangan terdidik baru yang sadar tentang situasi ketertindasan dan keharusan untuk bersatu dan merdeka seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatranen Bond, dan lain sebagainya. Keinginan untuk bersatu ini kemudian diwujudkan ke dalam satu pertemuan yang kita kenal dengan Kongres Pemuda 1928.
Kongres Pemuda yang kita kenal dengan hari sumpah pemuda itu bertujuan untuk memperjelas sikap para pemuda terhadap perlawanannya kepada Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada saat itu. Mereka bersumpah bertumpah darah satu, tanah air Indonesia. Berbangsa satu, Bangsa Indonesia. Berbahasa satu, Bahasa Indonesia. Bahwa mereka, meskipun berasal dari suku dan memiliki bahasa yang berbeda, mereka bersatu sebab isu yang sama, yakni sama-sama dijajah dan darahnya ditumpahkan oleh kolonialis yang sama.
Namun, apakah energi Sumpah Pemuda di tahun 1928 itu masih ada di zaman yang terus berubah ini?
Penjajahan Modern di Rezim Neo Orde Baru
Pasca tumbangnya kekuasaan Orde Baru yang dipimpin Soeharto dan kita memasuki era Reformasi, bagi beberapa orang, tidak ada yang berubah kecuali bahasa “Orde Baru” dan “Reformasi” saja, secara substansial, sejatinya tidak ada yang berubah. Masa transisi hanya memindahkan nama rezim, tapi tidak dengan orang-orangnya. Bahkan di rezim pemerintahan Mulyono a.k.a Jokowi yang distigmakan populis sekalipun, masih dihiasi nama-nama pentolan Orde Baru seperti Wiranto, Luhut Binsar Pandjaitan, dan Presiden RI ke-8 setelah Jokowi, Prabowo Subianto.
Di era kepemimpinan Joko Widodo, orang yang diharapkan oleh banyak aktivis 98 dapat membawa reformasi ke arah yang lebih demokratis, justru nyatanya semakin memperburuk keadaan. Wajah sederhana Jokowi tidak sesederhana yang kita kira, di balik topeng sederhana itu faktanya tersimpan wajah bengis Jokowi.
Ada banyak produk hukum yang lahir secara ugal-ugalan dan kental muatan persekongkolan jahat elit di dalamnya, di antaranya adalah Revisi UU Minerba yang menguntungkan oligarki dengan keberadaan beberapa Pasal kontroversial: izin tambang yang sentralistik (Pasal 35), membuka ruang bagi pemilik tambang untuk merusak lingkungan (Pasal 96 b) dan tidak diperbolehkannya rakyat untuk mengganggu aktivitas pertambangan (Pasal 162).
Kemudian, Revisi RUU Ketenagakerjaan menjadi UU Cipta Kerja yang jelas ditolak oleh berbagai kalangan, mulai dari kalangan aktivis hingga akademisi. Bahkan UU tersebut juga ditolak oleh MK melalui putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Namun, dalam waktu singkat dan tanpa adanya keadaan darurat, Jokowi secara tiba-tiba mengeluarkan Perppu Cipta Kerja untuk kembali memaksakan UU Cipta Kerja dengan mengangkangi putusan MK itu.
Bahkan, pada saat aksi #ReformasiDikorupsi yang menolak revisi UU KPK yang melemahkan kewenangan KPK, terjadi bentrok antar aparat dan mahasiswa yang menewaskan 5 orang (Kontras, 2019): Yusuf Kardawi (mahasiswa Universitas Halu Oleo), Immawan Randi (mahasiswa Universitas Halu Oleo), Maulana Suryadi (pemuda asal Tanah Abang), Akbar Alamsyah (pelajar) dan Bagus Putra Mahendra (pelajar).
Kendati terjadi pertumpahan darah dan hilangnya nyawa pemuda, revisi UU KPK tetap disepakati oleh seluruh fraksi di parlemen yang dibahas dalam waktu 5 hari kerja dengan isu kontroversial mengenai diubahnya kedudukan kelembagaan KPK yang semula adalah lembaga independen menjadi lembaga yang berada di bawah rumpun eksekutif.
Tidak hanya sampai di situ, di penghujung kekuasaannya, Jokowi tidak hanya berubah menjadi monster, tapi juga sekaligus iblis. Keinginan Jokowi untuk memperpanjang kekuasaannya menjadi 3 periode tercium pekat di hidung rakyat. Walau pada akhirnya keinginan itu batal, Raja Jawa itu tidak kehilangan akal, ia memasang anaknya, Gibran Rakabuming Raka, sang anak haram konstitusi untuk meneruskan legacy kekuasaannya sebagai Wakil Presiden.
Demi memuluskan keinginan itu, Jokowi tidak segan-segan menyandera partai-partai politik dengan kasus-kasus hukum, agar partai politik mau mendukung anaknya sebagai Calon Wakil Presiden. Umur ternyata tidak menghambat Gibran si Pangeran Jawa untuk lolos verifikasi KPU. Jokowi, melalui iparnya, Anwar Usman yang saat itu menjabat sebagai ketua MK, ikut serta menjadi bagian dari operasi politik jahat Jokowi dan keluarganya untuk tetap menguasai Indonesia.
Tidak hanya kepada Gibran seorang, tapi sayang Jokowi juga kepada keluarganya yang lain, seperti Kaesang Pangarep, ketua PSI yang pernah digadang maju sebagai Bakal Calon Wakil Gubernur Jawa Tengah dan Bobby Nasution si Calon Gubernur Sumatera Utara.
Melalui DPR yang sudah disanderanya itu, Jokowi diduga kuat menganulir putusan MK No. 60 tahun 2024 yang menurunkan ambang batas pencalonan Pilkada yang semua adalah 20% jumlah kursi DPRD menjadi 6,5-10% tergantung jumlah DPT per-daerah. Putusan 60 itu diduga kuat dianulir agar supaya menantu kesayangannya Bobby Nasution tetap mendapatkan dukungan partai politik yang tergabung di dalam KIM Plus-Plus. Kemudian, putusan MK No 70 tahun 2024 tentang umur calon kepala daerah yang diduga kuat dianulir agar tidak mengganggu kepentingan Kaesang maju sebagai Calon Gubernur.
Untuk menghalau langkah jahat Jokowi untuk membangun kerajaan di negeri demokrasi ini, terjadi aksi #PeringatanDarurat yang menggema di seantero Indonesia. Hanya untuk memperlihatkan cintanya kepada keluarga, Jokowi sampai rela mengorbankan rakyat di jalanan, sampai banyak dari kalangan aktivis yang ditangkap, diintimadasi, luka-luka, dan bahkan ada yang buta seumur hidup akibat perilaku jahat aparat Jokowi di lapangan.
Tidak selesai pada produk hukum yang bengis dan menjijikkan itu, sepuluh tahun kepemimpinan rezim Joko Widodo juga telah menambah angka penderitaan masyarakat adat atas perampasan tanah, kriminalisasi aktivis yang melakukan advokasi, dan penyempitan ruang kebebasan sipil. Selama dua periode Jokowi terdapat sekitar 2.939 letusan konflik agraria dengan luas mencapai 6,3 juta hektar (Konsorsium Pembaruan Agraria, 2015-2022).
Menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) sepanjang periode 2014-2024, korban yang terdampak sebanyak 1,75 juta rumah tangga di seluruh wilayah di Indonesia. Kemudian angka kriminalisasi yang dihimpun kurang lebih terdapat ribuan orang yang terdiri atas 1.086 laki-laki dan 34 perempuan, bahkan di antaranya terdapat 11 orang yang masih berstatus anak-anak, dan sebanyak 544 orang di antaranya berlanjut ke meja hijau.
Seperti yang terjadi di beberapa wilayah Sumatera Barat. Di Pasaman Barat misalnya, akibat keberadaan wacana PSN (Proyek Strategis Nasional) yang ingin membangun kilang minyak terbesar di Asia, pemerintahan Mahyeldi, secara sewenang-wenang menyatakan tidak ada konflik dengan ribuan masyarakat Air Bangis. Padahal ada, dan efek dari konflik itu ditemukan 18 orang mendapatkan kriminalisasi (PBHI Sumbar).
Hal yang sama juga dihadapi oleh masyarakat Petani Nagari Kapa, yang sampai hari ini masih berkonflik dengan perusahaan sawit Wilmar untuk mempertahankan lahannya. Di lapangan, konflik itu membesar, akibat perusahaan dibekingi oleh aparat, sehingga dalam satu peristiwa, masyarakat mendapat perlakukan intimidatif, seperti pemukulan hingga penangkapan.
Catatan-catatan ini jelas menunjukkan bahwa era yang disebut Reformasi, khususnya di rezim Jokowi, kemunduran demokrasi itu kian jelas. Bahkan lebih pas disebut sebagai era Neo Orde Baru. Dan faktor besar dari kemunduran itu adalah karena pemimpin politik yang menjauhi agenda reformasi. Lalu, pertanyaannya, sejauh mana gerakan politik pemuda menghadapi kehancuran demokrasi ini?
Di Mana Gerakan Politik Pemuda?
Gerakan politik pemuda hari ini seperti jauh panggang dari api. Mereka yang seharusnya punya keberpihakan konkret terhadap isu dan penderitaan rakyat justru semakin berjarak terhadap penderitaan-penderitaan itu. Apakah hal ini karena pemuda sudah tidak lagi bagian dari gerakan rakyat? Atau karena memang mereka sudah menjadi bagian dari elit yang ikut melahirkan penderitaan-penderitaan rakyat itu?
Misalnya, yang terjadi pada aksi #PeringatanDarurat. Kurang dari 24 jam terjadi pengorganisiran yang organik antara gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil yang berbondong-bondong turun ke jalan. Akan tetapi, kenapa gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil itu tidak terjadi di kasus-kasus lain, seperti kasus kematian Afif Maulana yang diduga meninggal akibat dianiaya Polisi? Atau juga di kasus konflik lahan masyarakat Petani Kapa dengan perusahaan sawit Wilmar?
Saya melihat bahwa gerakan politik pemuda hari ini tumpul akibat tidak memiliki agenda bersama yang panjang dan konsisten seperti yang terjadi di tahun 1928. Pada saat itu yang menjadikan mereka bersatu adalah karena mereka memiliki agenda dan isu bersama karena mereka sama-sama punya pengalaman panjang berada di bawah kaki-kaki penjajahan kolonialisme.
Hari ini, meskipun sudah bukan lagi di era kolonialisme itu, tetapi tindakan-tindakan pemerintah kepada rakyat di rezim Neo Orde Baru ini, sama dan bisa jadi, lebih kejam dari penjajahan kolonialisme di masa lalu. Seharusnya, kekejaman-kekejaman ini bisa membuat kita bersatu dan memiliki agenda bersama yang lebih kuat ketimbang tahun 1928. Padahal teknologi dengan keberadaan sosial media yang kita punya hari ini sangat memungkinkan kita untuk lebih cepat melakukan konsolidasi gerakan dan penyeberluasan isu.
Yang menjadi refleksi kita hari ini adalah: kenapa dengan kemungkinan-kemungkinan untuk bersatu itu kita tidak melakukannya? Akankah di rezim pemerintahan Prabowo, apabila ia dan kroni-kroninya melakukan kejahatan demokrasi seperti yang dilakukan Jokowi, kita bisa bersatu dengan alasan karena kita memiliki agenda bersama?
*****
Editor: Ziyad Ahfi
*Sarah Azmi adalah alumni Pantau Angkatan 2022 sekaligus pegiat HAM yang berfokus pada Isu Perempuan. Ia juga penulis puisi yang sering membacakan puisi-puisinya di gerakan Kamisan dan event-event budaya di Sumatra Barat.