Budaya  

Pesta Oligarki: Pentas Sulap Memanipulasi Suara Rakyat

Catatan dari Nobar Film “Pesta Oligarki”

Foto: Nonblok Ekosistem

Jumat, 25 Oktober 2024, bertempat di Rumah Nonblok, Jalan Abimanyu 141, Simpang Tiga, Pekanbaru, diadakan kegiatan screening film “Pesta Oligarki” produksi WatchDoc. Film yang dirilis bersamaan dengan momen pelantikan Prabawo sebagai Presiden Republik Indonesia, yang sekaligus sebagai perayaan kemenangan para elit politik dalam merebut suara rakyat dalam Pilpres yang lalu.

“Pesta Oligarki” adalah kritik atas pernyataan Jokowi pada Juli 2024 yang mengatakan bahwa Pemilu adalah ajang “Pesta Demokrasi”. Sejatinya, istilah “Pesta Demokrasi” bukanlah istilah baru, tapi Jokowi hanya mengulang pernyataan yang pernah diucapkan oleh Soeharto 42 tahun sebelumnya. Istilah tersebut hanya sebuah manipulasi atas Pemilu yang sudah diatur lewat kekuasaan Soeharto. Terbukti bahwa sepanjang orde baru, Pemilu selalu dimenangkan oleh Golkar, jauh sebelum Pemilu dilangsungkan. Sedangkan, dua partai lain, yakni PPP dan PDI hanya aksesori politik belaka.

Rumah Nonblok dan Cinepelan sebagai penyelenggara acara menghadirkan tiga orang narasumber sebagai pemantik diskusi, yakni Wicak (Akademisi), Wilton (LBH Pekanbaru), dan Ziyad Ahfi (Jurnalis dan Pemred ihwal.co).

Ziyad Ahfi mengatakan bahwa dua periode kepemimpinan Jokowi itu adalah dua periode yang gagal. Jokowi itu seperti Presiden Peru periode 1990-2000, yakni Alberto Kenya Fujimori Inamoto. Mereka sama-sama diasosiasikan dari rakyat biasa yang kita kira bisa mewakilkan rakyat. Akan tetapi, pada penghujung masa kekuasaannya, Fujimori berubah menjadi seorang tiran. Ia bahkan menggunakan instrumen intelijen untuk mencari kasus-kasus politikus lalu menyandera mereka dengan kasus tersebut, dan berbagai instrumen negara lainnya agar para elit tunduk di bawah kekuasaannya. Ziyad Ahfi menambahkan, “Seburuk-buruk pemimpin adalah pemimpin yang merasa dirinya seorang raja.”

Sementara Wilton dari LBH Pekanbaru berpendapat bahwa dua periode Jokowi telah mencabik-cabik demokrasi di Indonesia. Jokowi berhasil mengendalikan tiga lembaga check and balance, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif sesuai dengan kepentingan politiknya. Banyak undang-undang yang lahir secara transaksional, seperti Undang-undang MINERBA dan Undang-undang KPK. “Jokowi adalah monster yang terlahir dari gorong-gorong,” ujar Wilton.

Wicak, dosen FISIP UNRI, mengatakan, “Praktik politik sekarang itu sudah semakin immoral, artinya sudah tahu salah tapi tetap dilakukan. Sebab itu, kita di 2024 ini semakin relevan untuk membicarakan moral dan etika di ranah politik.”

Berbagai komentar, pertanyaan, dan analisis kritis terlontar dalam diskusi malam itu. Bahkan, hingga hampir pukul 12 malam, masih berlangsung diskusi yang tajam dan penuh kehangatan. Dari berbagai tawaran agenda ke depan yang harus dilakukan oleh aktivis pro demokrasi, hingga bagaimana membangun kesadaran massa rakyat tentang bahaya dari konsolidasi para oligarki.

Husin, dari Nonblok Ekosistem, menyampaikan dalam sambutan penutupnya bahwa kerja-kerja besar ini harus dilakukan oleh seluruh elemen rakyat secara kolektif di dalam perannya masing-masing. Kerja-kerja berbagi pengetahuan ini harus dilakukan lewat lintas disiplin, seperti seni dan budaya, politik, ekonomi, media, akademisi, dan lain-lain. Semua bergerak sesuai bidangnya untuk membangun dan berbagi pengetahuan, sehingga monster oligarki ini tidak boleh sewenang-wenang dan mendapatkan perlawanan oleh rakyat yang sadar.

Reporter: Bintang Islami

Editor: Herman Attaqi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *