Sebenarnya, sah-sah saja UAS menunjukkan keberpihakan sebagaimana yang beliau lakukan saat pilpres 2019 dan 2024 lalu. Bahkan di beberapa pilkada daerah lain (bukan hanya Riau), UAS juga mendukung salah satu paslon. Namun sebagai bagian dari masyarakat yang tinggal di Riau, saya melihat fenomena ini “berbeda”. UAS mendukung dengan begitu frontal. Seolah-olah ingin menunjukkan perlawanan yang tegas. Jujur, sampai sekarang saya masih penasaran. Apa alasan utama yang membuat UAS mendukung paslon tersebut?
Penulis: Rezky Firmansyah
Februari lalu, rakyat Indonesia baru saja melaksanakan pemilihan presiden dan anggota legislatif. November nanti, rakyat Indonesia akan memilih pemimpin daerahnya. Baik itu bupati, walikota, dan gubernur. Bagi saya, pilpres 2024 kemarin jauh lebih menarik dibandingkan pilpres 2019. Bukan hanya pasangan presiden yang lebih dari dua, tapi pertarungan gagasan yang setidaknya lebih terlihat dibandingkan sebelumnya.
Namun sepertinya euforia di tingkat nasional tidak bisa dirasakan untuk tingkat daerah. Setidaknya daerah saya. Provinsi Riau dan Kabupaten Kampar. Untuk kali ini, saya akan berbagi pandangan tentang Pilkada Provinsi Riau. Pilkada Riau kali ini mengalami penurunan jumlah pilihan. Tahun 2018 lalu ada empat pasangan calon, yaitu: Syamsuar-Edy Natar Nasution, Muhammad Lukman Edy-Hardianto, Firdaus-Rusli Effendi dan Arsyadjuliandi Rachman -Suyatno.
Pilkada Riau 2018 tersebut dimenangkan oleh Syamsuar dan Edy Natar Nasution. Pilkada 2024 kali ini, Syamsuar kembali maju dengan pasangan yang berbeda. Sedangkan Edy Natar Nasution “turun tahta” menjadi Calon Walikota Pekanbaru. Sebenarnya beliau sempat digadang-gadangkan maju di pemilihan gubernur.
Namun karena tidak dapat dukungan yang cukup untuk maju di tingkat gubernur, beliau mundur teratur. Barulah saat peraturan UU Pilkada terbaru diputuskan, pintu yang masih terbuka hanya di tingkat walikota. Alhasil, majulah beliau dengan pasangan yang separtai dan ditambah dengan dukungan dari partai koalisi.
Pilkada Riau 2024 diramaikan oleh tiga pasangan calon, yaitu: Abdul Wahid-SF Hariyanto, Nasir dan M. Wardan dan Syamsuar -Mawardi M. Saleh.
Bagaimana profil masing-masing calon? Silakan riset sendiri. Saya hanya akan menyampaikan keresahan atas keterbatasan pilihan yang ada. Selamat membaca dan silakan dipertimbangkan.
Abdul Wahid – SF Hariyanto
Mari mulai dengan pasangan nomor urut satu, Abdul Wahid dan SF Hariyanto. Pasangan ini mengenalkan diri dengan sebutan Bermarwah. Mungkin ada selipan nama Bersama Wahid dan SF Hariyanto.
Abdul Wahid adalah caleg DPR RI terpilih untuk kedua kalinya dari PKB. Sejak tahun 2009 mengawali karir politik di DPRD Provinsi Riau selama dua periode. Beliau mengenalkan diri sebagai gubernur muda dan santri. Karena memang sekolah menengahnya di MTs dan MA, kemudian berlanjut UIN. Pada pemilihan DPR RI kemarin, suaranya tertinggi di Riau, yakni 104.229 suara.
Berbeda tipis dengan suara terbanyak kedua, Syahrul Aidi dari PKS dengan perolehan 104.142 suara. Satu hal yang publik layak tahu, bahwa beliau adalah wakil pimpinan sidang panja revisi UU Pilkada yang kontroversial lalu. Tentu kita sama-sama sudah tahu apa maksud dan tujuan dari revisi UU Pilkada tersebut. UU yang nyaris mempermulus putra mahkota maju sebagai calon kepala daerah dan mempersempit calon lain untuk maju karena ambang batas yang ada.
SF Hariyanto adalah pasangannya. Merintis kariernya sebagai honorer dinas PU hingga kepala dinas. Saat menjelang pensiun, pernah menjadi Sekretaris Daerah Provinsi Riau dan PJ Gubernur Riau. Namanya sempat viral saat menjadi sekda karena anak dan istrinya yang flexing di media sosial. Banyak isu tidak sedap lainnya seperti konflik kepentingan.
Contohnya, sang istri yang terpilih menjadi anggota DPRD Provinsi Riau saat beliau menjabat sebagai PJ Gubernur Riau. Bukan hanya itu, balihonya bertebaran di mana-mana dengan tagline “bersama membangun Riau” seolah-olah ingin mencuri garis start kampanye. Pertanyaannya, baliho tersebut menggunakan uang siapa? Apalagi dengan adanya logo Provinsi Riau. Hingga hal yang patut dikhawatirkan adalah keegoan beliau untuk mengklaim berbagai pencapaian, khususnya infrastruktur dengan perkataan “saya, saya, saya”. Baik saat wawancara hingga postingan di media sosial.
M Nasir – M Wardan
Pasangan nomor urut dua mengenalkan diri dengan Nawaitu yang merupakan singkatan dari M. Nasir dan M. Wardan. Nasir adalah kader Partai Demokrat dan sudah menjadi anggota DPR RI sejak 2009. Per 2024 kemarin langkahnya terhenti. Namun karier politiknya tetap dijajaki dengan maju sebagai calon gubernur. Pertanyaan sederhana yang layak diajukan. Menjadi anggota DPR RI sejak 2009, apa yang sudah diberikan untuk Riau?
Konflik kepentingan dan isu tidak sedap pun dekat dengannya. Beliau adalah saudara dari Nazarudin, tersangka korupsi wisma atlet. Dua anaknya adalah anggota DPR RI terpilih. Bahkan saat anaknya menikah, resepsi mewah diadakan. Papan bunga mulai dari bandara hingga lokasi hotel terpampang panjang. Hingga saat pilpres kemarin pun beliau berulah. Penekanan menggunakan aparat kepolisian kepada aparat desa hingga pejabat daerah untuk mendukungnya di DPR RI serta salah satu paslon presiden.
Berpasangan dengan M. Wardan. Mantan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Riau dan Bupati Indragiri Hilir dua periode. Pertanyaan sederhana yang layak diajukan, terkhusus kepada warga Indragiri Hilir. Apa kontribusi terbaik beliau saat menjadi bupati? Bagaimana jika dibandingkan dengan bupati sebelum dan setelahnya? Jawaban dari pertanyaan ini sudah cukup untuk menjadi pertimbangan apakah beliau layak dipilih atau tidak.
Syamsuar – Mawardi M Saleh
Pasangan nomor urut tiga menamakan diri dengan SUWAI, Syamsuar dan Mawardi M. Saleh. Gubernur petahana dan tokoh agama yang ketika pileg lalu sempat maju sebagai caleg DPR RI.
Syamsuar adalah birokrat yang memulai karirnya dari bawah. Mulai dari ajudan, camat, wakil bupati, bupati, hingga gubernur. Ketika pileg lalu, beliau maju sebagai caleg dari Partai Golkar dengan suara tertinggi untuk dapil Riau 1, yakni 101.876 suara.
Namun mundurnya beliau sebagai caleg terpilih kemudian maju menjadi calon gubernur meninggalkan kesan tidak menyenangkan, terkhusus bagi pemilihnya. Tidak amanah. Begitulah kesan masyarakat Riau. Statusnya sebagai gubernur petahana seharusnya memberikan keuntungan tersendiri. Sodorkan saja prestasinya selama satu periode menjabat, sudah berbuat apa? Dengan begitu, masyarakat bisa menilai dengan bijak. Namun sepertinya beliau masih menggunakan cara orang lama. Dapat dimaklumi karena beliau adalah Calon Gubernur Riau dengan usia tertua, 70 tahun.
Berpasangan dengan Mawardi M. Saleh. Ketua MUI Kampar, Mufti Kota Pekanbaru, dan berbagai jabatan/posisi di organisasi keagamaan dan pendidikan. Maju sebagai caleg DPR RI, tapi tidak terpilih karena hanya memperoleh suara terbanyak kedua dari partainya. Yang seringkali dijual oleh timses dan pendukungnya adalah, beliau ulama. Lantas,kenapa? Bukankah KH Maruf Amin juga ulama?
Bahkan lebih jauh ke masa lalu, tepatnya di masa Rasulullah SAW, bukankah sahabat nabi yang bernama Abu Dzar Al-Ghifari ditolak oleh Rasulullah untuk menjadi pejabat? Bukankah Abu Dzar Al-Ghifari jauh lebih bertakwa dibandingkan “hanya” tokoh ulama pada masa kini? Bukan berarti ulama tidak boleh maju sebagai pemimpin daerah. Namun yang terpenting itu bukan hanya ulama, tapi kapasitasnya memimpin. Ulama yang juga berkapasitas sebagai umara. Sekarang, coba telusuri jejak beliau. Bagaimana kinerja beliau saat memimpin di berbagai tempat? Lalu, pertimbangkan dengan bijak.
Tidak ada yang sempurna dari setiap paslon. Mungkin saja ingin mendukung calon tertentu, tapi red flag di pasangannya. Salah satu pendekatan yang seringkali digunakan oleh pemilih adalah, jika tidak ada yang terbaik, maka pilihlah yang keburukannya lebih sedikit. Namun, mau sampai kapan kita punya standar kualitas calon pemimpin seperti itu?
Calon pemimpin pun sama. Mereka berharap agar dirinya dipilih. Namun tidak memantaskan agar dirinya bisa dipilih. Ketika ditanya program, tidak bisa jawab. Ketika ditanya kenapa harus memilih, jawabannya tidak rasional. Yang penting satu daerah misalkan. Ayolah, mau sampai kapan kita terjebak dengan kualitas pemilihan seperti ini?
Gimik Pemilu
Pemilu kondusif dan damai. Beginilah yang digaung-gaungkan oleh pihak penyelenggara pemilu. Namun slogan tersebut sepertinya hanya ucapan saja. Atau mungkin, targetnya hanya sebatas kondusif dan damai. Tidak penting menyelenggarakan pemilu yang berkualitas. Tidak penting pemilihnya bisa menjadi lebih cerdas. Tidak penting jika ada penyelewengan dan pelanggaran. Pokoknya, damai dan kondusif saja. Lah, itu damai dan kondusif atau permisif dengan keadaan?
Jujur saja, pemilihan gubernur kali ini tidak begitu menarik. Karena sebagai pemilih, saya tidak bisa mendapatkan akses yang terbuka sebagaimana informasi terkait presiden dan wakilnya. Sesederhana dokumen visi misi. Apakah visi misi calon gubernur cukup hanya sebatas teks di berkas administrasi KPU? Apakah program hanya sebatas beberapa kata ucapan di baliho?
Rancangan kerja tanpa naskah akademik. Rekam jejak yang tidak terlihat. Visi tanpa gagasan kongkret. Baliho tanpa program. Inilah yang saya rasakan di pilkada ini. Baik tingkat gubernur ataupun bupati/walikota. Pemilihan yang jauh lebih penting dibandingkan memilih Ketua BEM, atau hanya Ketua OSIS, tapi persiapannya malah di bawah rata-rata. Pun jika ada debat, hanya debat normatif yang diadakan di KPU. Pertanyaan yang sudah disiapkan seadanya. Padahal idealnya yang bisa bertanya bukan hanya panelis, tapi rakyat yang akan memilihnya.
Calon gubernur dan pasangannya cenderung mengadakan kampanye model lama. Yang penting baliho raksasa. Mendatangi titik demi titik. Mengadakan dialog di lokasi yang disebut kampanye dialogis. Jika ada pertanyaan, hanya pertanyaan biasa yang dijawab dengan biasa. Harusnya visi misi, gagasan, dan program yang dikedepankan. Bukan sebatas video sosialisasi dari titik ke titik yang dipublikasikan di media sosial.
Hingga tulisan ini dibuat, saya mencoba untuk mencari tahu kampanye kreatif yang diadakan oleh masing-masing paslon. Setidaknya, yang berani memasang badan untuk dialog terbuka saat ini adalah Abdul Wahid. Pada 9 Oktober mengadakan Gertak Wahid di Rumbai dan Todong Bang Wahid di Tanama Coffee pada 22 Okober. Akankah paslon lain mengadakan hal serupa? Semoga saja bisa. Ini baru dialog loh ya. Apakah isi pikirannya sesuai dengan yang diharapkan atau tidak, beda cerita.
Kabar tambahan saja. Untuk daerah lain di Riau, mulai bermunculan calon kepala daerah yang berani mengadakan dialog terbuka. Di Siak ada Dobrak Afni sedangkan di Kampar ada Tanduk Yuyun-Edwin. Suka atau tidak suka, kehadiran kampanye kreatif Desak Anies sudah memberikan warna baru bagi perpolitikan di Indonesia. Bahwa seharusnya pemimpin itu bisa dijangkau oleh semua kalangan dan terbuka untuk berdialog. Bukan sebatas mencitrakan diri dekat dengan rakyat, tapi kebijakannnya tidak berpihak dengan rakyat.
Dukungan Frontal UAS
Fenomena lain yang cukup menarik perhatian adalah kehadiran Ustadz Abdul Somad yang dengan tegas mendukung salah satu paslon. Bukan hanya sebatas ucapan di media sosial, tapi juga hadir menjadi garda terdepan. Mulai dari mengantar ke KPU, turun ke lapangan, hingga yang paling terlihat adalah fotonya yang terpampang nyata di baliho. Biasanya paslon hanya memunculkan dua nama, gubernur dan wakil gubernur. Pun jika lebih dari dua, biasanya adalah ketua umum partai. Namun UAS berbeda. Beliau bukanlah ketua umum partai. Namun hadir sebagai pendukung utama di berbagai baliho. Bahkan bukan hanya untuk Calon Gubernur Riau, tapi juga Calon Bupati Kampar.
Sebenarnya, sah-sah saja UAS menunjukkan keberpihakan sebagaimana yang beliau lakukan saat pilpres 2019 dan 2024 lalu. Bahkan di beberapa pilkada daerah lain (bukan hanya Riau), UAS juga mendukung salah satu paslon. Namun sebagai bagian dari masyarakat yang tinggal di Riau, saya melihat fenomena ini “berbeda”. UAS mendukung dengan begitu frontal. Seolah-olah ingin menunjukkan perlawanan yang tegas. Jujur, sampai sekarang saya masih penasaran. Apa alasan utama yang membuat UAS mendukung paslon tersebut?
Jika Anda membaca catatan yang saya tulis terhadap semua paslon, semuanya pasti memiliki catatan yang layak dipertimbangkan. Namun dengan hadirnya UAS sebagai pendukung utama, akankah beliau besok siap menjadi pengkritik utama jika melenceng? Atau jangan-jangan malah mencuci setiap kotoran yang tersisa sebagaimana yang diperlihatkan oleh para tokoh publik lainnya? Saya khawatir, justru UAS akan berkurang marwahnya karena mendukung dengan sebegitu frontalnya. Sungguh, tulisan ini bukan untuk mendiskreditkan beliau. Karena saya peduli dengan beliau, makanya saya menulis seperti ini. Silakan mendukung, tapi sepertinya tidak elok jika sefrontal ini.
Bukan hanya UAS sebenarnya. Ustadz Adi Hidayat ketika pilpres 2024 lalu juga menunjukkan keberpihakan yang “berbeda” dibandingkan ekspektasi jamaahnya. Bahkan jauh lebih dahulu dari itu, penceramah kondang sekelas alm Zainuddin MZ bukan hanya mendukung, tapi mendirikan Partai Bintang Reformasi. Sebelumnya beliau aktif di Partai Persatuan Pembangunan (1977-1982, 1998-2003) dan pernah juga aktif di Gerindra (2009-2011).
Sekali lagi, tidak ada yang salah jika ulama dan tokoh agama masuk dalam politik. Justru bagus untuk memberikan warna yang baik. Namun jika kehadirannya malah membuatnya tersandera, tentu akan menjadi catatan tidak elok bagi jamaahnya. Bahkan untuk kemaslahatan umat.
UAS, Pilkada Riau, dan pemilihnya. Kita semua bukan hanya akan menghadapi pemilihan, tapi ujian. Ujian bagi UAS atas keputusannya, ujian bagi pemimpin atas janjinya, dan ujian bagi kita untuk menjaga lisan dan ketikan.
Rezky Firmansyah adalah putra Kampar yang berprofesi sebagai penulis, pegiat lterasi dan pekerja kreatif