Penulis: Alfatah Hidayat*
Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) akhir-akhir ini tengah menjadi perbincangan hangat dan menimbulkan banyak penolakan dari masyarakat, khususnya dari pegawai swasta yang bergaji rendah. Kebijakan potongan 2,5% tanggungan karyawan dan 0,5% tanggungan perusahaan dianggap memberatkan mereka di tengah banyaknya kebijakan mengenai iuran dan tabungan lain.
Sejak 2016, kebijakan Tapera telah ditetapkan melalui Undang-undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat. Pasca ditetapkan, keberadaan UU ini kompak ditolak oleh Asosiasi Pengusaha. Namun, nyatanya, meski ditolak, pemerintah tetap bersikeras melanjutkan program ini. Hal itu dapat dilihat dengan hadirnya PP Nomor 21 Tahun 2024 yang mengubah PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Sebelum PP ini disahkan, kebijakan Tapera hanya berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil sebagai lanjutan dari program Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Bapertarum-PNS). Sementara itu, program Tapera di sektor swasta tidak berlaku efektif akibat penolakan dari asosiasi pekerja dan pengusaha.
Kenapa Tapera Ditolak?
Alasan kenapa kebijakan Tapera ini ditolak salah satunya adalah karena lahirnya kebijakan ini tidak dibarengi dengan edukasi tentang Tapera itu dan mekanisme penyalurannya.
Banyak informasi yang beredar di media bahwa Tapera bahkan tidak sanggup untuk melunasi Kredit Perumahan Rakyat (KPR) yang memiliki harga sekitar 250 juta Rupiah.
Jika dihitung, apabila gaji karyawan diasumsikan sebesar 3 juta rupiah per-bulan, maka 3 juta x 3% maka uang yang terkumpul di setiap bulannya sekitar 90.000/bulan. Apabila 250 Juta dibayarkan tiap bulannya sebesar 90 ribu, maka dibutuhkan sekitar 2.778 bulan atau sekitar 231 Tahun untuk melunasi KPR.
Sepertinya, tidak mungkin ada manusia yang hidup selama itu, kecuali orang itu adalah manusia super atau orang yang diberi mukjizat seperti rasul. Bekerja selama 10 tahun dengan gaji 3 juta per-bulan saja, hanya akan menghasilkan sekitar 10,8 Juta saja. Tentu, jumlah segitu sangat jauh dari jumlah untuk membeli sebuah rumah yang layak.
Baik-Buruk Tapera
Di satu sisi, Tapera sebagai tabungan memiliki kelebihan, yakni salah satunya adalah bahwa Tapera merupakan bentuk tabungan yang dapat dicairkan seperti Jaminan Hari Tua (JHT). Namun di sisi yang lain, untuk kisaran gaji 3 Juta potongan 2,5 % atau 75 ribu per-bulan, terasa begitu berat apalagi ditambah dengan iuran-iuran seperti JKK (Jaminan Kecelakaan Kerja), JHT (Jaminan Hari Tua) dan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan.
Sedang pada karyawan dengan gaji sekitar 5-6 juta saja, selain harus membayar iuran asuransi, mereka juga harus membayar PPh (Pajak Penghasilan) sebesar 5%. Efek yang ditimbulkan dari kebijakan ini bagi mereka yang memiliki gaji di bawah lima juta pastinya akan sangat berat. Sebab, acap kali ditemui gaji tersebut bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pribadi, melainkan juga tanggungan-tanggungan lain seperti tanggungan istri, anak, bahkan orang tua.
Belum lagi rakyat sedang berhadapan dengan fenomena naik-turunnya harga kebutuhan pokok yang membuat mereka dengan upah rendah semakin tercekik dan menjerit. Menurut saya, sudah selayaknya pemerintah melakukan evaluasi lebih detail dan dalam terkait kebijakan iuran dan sumbangan agar tidak mengganggu kehidupan masyarakat, terutama masyarakat kelas menengah ke bawah.
*Mahasiswa Pascasarjana Hukum UII, berasal dari Indragiri Hilir, Riau
Editor: Ziyad Ahfi