Jalan Tapung Raya Sama Seperti Wajah Pemerintah Saat ini: Jelek dan Berlobang

Foto: Toibul Hadi, Pemuda Tapung Raya

Penulis: Toibul Hadi*

Kucari dan selalu kucari jalan terbaik, agar tiada penyesalan dan air mata..”

Penggalan lagu yang berjudul Kucari Jalan Terbaik karya Pance Pondaag tersebut mungkin adalah lirik yang paling pas untuk menggambarkan kondisi jalan di Tapung Raya saat ini. Kalau dihayati lebih dalam, lirik lagu tersebut semacam ingin menasehati kita bahwa kalau memang ada  keseriusan untuk “mencari jalan”, pasti akan ada solusi dan kita tidak akan mendapati penyesalan di kemudian hari.

Ini adalah cerita saya sebagai seorang anak yang dibesarkan di atas jalan-jalan rusak Tapung Raya, yakni sebuah wilayah pinggiran yang tediri dari 3 kecamatan. Saat duduk di bangku sekolah di kampung, orang tua saya berkata bahwa infrastruktur pendidikan di kota ini masih kurang maju apabila dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan lain di Kabupaten Kampar. Akibat infrastruktur pendidikan yang tidak maju itulah saya terpaksa berpindah dari satu sekolah ke sekolah lainnya.

Setelah beranjak dewasa, saya memahami penyebab perkataan orang tua tersebut, yakni karena kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat. Bibit-bibit kemarahan mulai tumbuh dan berkembang di dalam batok kepala saya.

Seseorang bernama Friedrich Hegel pernah berkata, “Dibutuhkan ide-ide atau setidaknya gosip yang diimajinasikan, yang berkontradiksi dengan ide-ide pada zaman sebelumnya, agar menjadi mesin yang membawa perubahan kepada nasib masyarakat. Nasib kita.” Berangkat dari hal itu, mari kita ciptakan anti-tesis atas jeleknya infrastruktur jalan darat di Tapung Raya.

Lalu, muncul pertanyaan di kepala saya, apakah pemerintah Provinsi Riau benar-benar serius bekerja untuk Tapung Raya? Jawaban seharusnya adalah iya, karena Tapung Raya masuk ke dalam wilayah administrasi Kabupaten Kampar, dan jalan tersebut berstatus jalan provinsi. Tetapi, dalam kenyataanya, apabila kita berkendara di jalan-jalannya, pasti semua masyarakat Tapung Raya bersepakat untuk mengatakan tidak!

Tidak perlu saya mengatakannya secara ilmiah dengan bahasa teoritis yang berlebihan apalagi harus mendatangkan lembaga survei dan ahli tata kota untuk memvalidasinya. Jangakan saya, anak kecil pun tahu, bahwa Pemerintah Provinsi Riau tidak pernah benar-benar serius untuk merawatnya.

Jangan-jangan, para pejabat itu memang tidak pernah mau untuk datang dan melihat langsung ke Tapung Raya, sebab mereka lebih memilih jalan-jalan ke luar negeri atau ke luar kota ketimbang datang untuk sekadar melihat Tapung Raya.

Saat saya berkendara, saya seperti sedang diuji untuk mendapatkan SIM C. Di jalan yang seharusnya bisa dilalui dengan lurus, saya terpaksa berbelok-belok. Mencari jalan terbaik dari yang terburuk. Prasangka baik saya, mungkin saja Pemerintah ingin kami, masyarakat Tapung Raya, menambah skill berkendara kami lebih baik lagi agar supaya kami bisa menjadi pembalap di kemudian hari.

Tetapi, dalam prasangka buruk saya,  mereka memang sengaja ingin kita hidup dalam ketidaksejahteraan. Agar kita bodoh dan terus-terusan menjadi masyarakat yang terpinggirkan. Seakan-akan para pejabat kaya raya itu ingin kami terus-terusan dalam kesusahan ekonomi karena sulitnya mengantarkan hasil tani kepada pengepul. Mungkin juga mereka ingin melihat ibu-ibu hamil keguguran di tengah jalan. Juga bisa jadi mereka ingin orang-orang terlambat bekerja dan kendaraan masyarakat rusak dan agar industri otomotif semakin maju.

Mereka, sepertinya, ingin melihat kami marah. Barangkali, mereka tidak peduli bila rakyat marah. Mungkin juga, karena mereka belum mengenal konsep bijak dan adil. Melalui tulisan ini, saya juga memberikan jemputan kepada anda sekalian, lebih tepatnya jemputan untuk berpikir. Berpikir tentang kesengsaraan yang dirasakan oleh rakyat di Tapung Raya. Barangkali, kesengsaraan kita memiliki energi yang sama. Barangkali juga, kesengsaraan kita mampu menjadi letupan untuk melawan kebobrokan yang sudah menjadi ulam saat menyantap makan siang.

Mari kita lawan, walaupun dalam hati, marilah kita suarakan betapa hancurnya hati ibu yang mendapat kabar anaknya kecelakaan di jalan Tapung Raya, karena menghindari lobang saat berangkat kuliah. Bukankah kita berhak marah kepada pejabat yang abai dan zalim tersebut? Marah dengan tujuan seperti yang diucapkan Pance Pondaag di dalam lirik lagunya: “Mencari jalan terbaik, agar tiada penyesalan dan air mata”.

*Pemuda Tapung Raya

Editor: Ziyad Ahfi 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *