Mengapa 1 Mei Diperingati Sebagai Hari Buruh?

Foto: UICI

Pada 1 Mei 1886, ribuan pekerja di seluruh Amerika Serikat melakukan mogok kerja selama berhari-hari dalam rangka protes untuk memperjuangkan jam kerja 8 jam per-hari. Akan tetapi, dalam aksi tersebut, terjadi bentrok antara aksi massa dengan polisi dan berakhir pada meninggalnya sejumlah buruh.

Pasca kejadian tersebut, gerakan buruh semakin besar dan pada 1 Mei 1889, melalui keputusan federasi internasional, kelompok sosialis dan serikat buruh, maka lahirlah kesepakatan untuk memperingati Hari Buruh.

Di Indonesia, perayaan Hari Buruh pertama kali dilakukan pada 1 Mei 1918 oleh Serikat Buruh Kung Tang Hwee di Surabaya. Gagasan tersebut muncul setelah tokoh kolonial, Adolf Baars mengkritik harga sewa tanah milik kaum buruh yang terlalu murah untuk dijadikan perkebunan dan para buruh di masa itu bekerja dengan upah yang tidak layak. 

Pada 1 Mei 1946, Kabinet Sjahrir pernah berupaya untuk menetapkan Hari Buruh. Dan upaya itu diwujudkan dalam penetapan UU No. 12 Tahun 1948 yang mengatur bahwa setiap 1 Mei para buruh diperbolehkan untuk tidak bekerja.

Di era pemerintahan Soeharto, Hari Buruh distigmakan identik dengan ideologi komunisme yang pada saat itu dilarang. Sehingga di era Orde Baru tidak ada peringatan Hari Buruh.

Pasca Orde Baru tumbang dan digantikan oleh rezim reformasi, dengan meratifikasi konvensi ILO Nomor 81 tentang kebebasan berserikat buruh, BJ Habibie menjadi Presiden pertama pasca reformasi yang mengizinkan untuk memperingati Hari Buruh.

Hingga hari ini, tiap 1 Mei diperingati sebagai Hari Buruh. Peringatan ini perlu dilakukan karena buruh memiliki peran penting di dalam perkembangan sejarah manusia.

Tanpa buruh, hidup ini tidak akan berjalan dan kegiatan ekonomi tidak akan pernah berputar. Buruh tidak hanya identik dengan buruh yang bekerja di pabrik. Melainkan buruh juga adalah siapa saja yang bekerja dan digaji oleh orang lain (pemilik modal). 

Dalam relasi sosialnya, buruh adalah kelas yang rentan terhadap eksploitasi oleh pemilik modal. Karena “merasa” memiliki modal dan yang bertanggungjawab menggaji buruh, pemilik modal acapkali menganggap buruh adalah orang yang bisa disuruh-suruh seenaknya tanpa aturan.

Seperti: jam kerja yang tidak manusiawi. Upah yang tidak layak. Pemaksaan kerja di luar jam kerja. Tidak memberikan izin hamil. Tidak memberikan hak keselamatan kerja. Tidak memberikan jaminan sosial. Dan lain sebagainya.

Atas alasan itulah perlunya untuk terus memperjuang hak-hak buruh. Karena akan selalu ada cara bagi pemilik modal untuk mengambil untung sebesar-besarnya dengan mengangkangi hak-hak buruh.

Reporter: Ziyad Ahfi 

Editor: Herman Attaqi 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *