Berkali-Kali Ganti Pemimpin, Kampar Tetap Begini-Begini Saja, di mana Gerakan Mahasiswa?

Foto: Sabaril Nopri

Mahasiswa sebagai kelompok yang terdidik seharusnya berada di barisan paling depan dalam memimpin gerakan sosial. Sayangnya, beberapa tahun belakangan, entah karena pengaruh teknologi yang kian masif atau hal lainnya, peran mahasiswa sebagai agent of change dan social control itu mulai kehilangan taringnya, terutama mahasiswa yang berada di Kabupaten Kampar maupun mahasiswa Kampar yang berada di luar daerah.

Penulis: Sabaril Nopri 

Pasca habisnya masa kepemimpinan Bupati yang “dipilih langsung oleh rakyat”, Azis-Catur (2017) yang kemudian diganti oleh pemimpin yang “ditunjuk langsung oleh pusat”, Pj Kamsol, Pj Firdaus dan Pj Hambali, Kampar tetap begini-begini saja. Tidak ada perubahan yang terjadi secara radikal.

Pada tanggal 14 Februari 2024 lalu, kita sudah memilih 45 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kampar. Banyak wajah baru yang mengisi kursi parlemen di puncak Candika, tetapi juga masih ada wajah-wajah lama. Namun pertanyaannya, apakah mereka mampu mengawal kepentingan rakyat melalui fungsi anggaran, legislasi, dan pengawasan yang diberikan oleh saya, kamu, kalian, dan kita semua di bilik TPS Februari lalu? Apakah mereka memiliki ide dan program yang berpihak pada isu kerakyatan ketimbang isu elit? Bukan pemilu tolak ukurnya, melainkan harus kita kawal dan lihat pada saat setelah mereka dilantik nanti.

Beberapa bulan lagi, tepatnya pada tanggal 27 November 2024 nanti, untuk kesekian kalinya kita akan kembali menentukan siapakah yang akan menopang harapan rakyat untuk menakhodai kapal tua yang kita namai Kampar ini. Dengan banyaknya nama yang beredar pada bursa pemilihan Bupati kali ini, yang menentukan serta menanggung, lagi-lagi adalah kita sebagai rakyat.

Masih ada waktu sekitar 8 bulan lagi (dimulai dari bulan ini), untuk menguji kapasitas serta kapabilitas calon pemimpin untuk memimpin Kabupaten yang dalam waktu 2 tahun belakang ini, menurut data BPS (2023), termasuk sebagai Kabupaten dengan tingkat penduduk miskin yang relatif tinggi di Provinsi Riau pada tahun 2022, 7,12% dan 7,04% di tahun 2023.

Civil Society Harus Berperan Aktif

DPRD (pengawas pemerintah di dalam sistem) tidak terlalu dapat diharapkan, sebab berkaca pada tahun-tahun sebelumnya, DPRD Kampar tidak benar-benar aktif dalam mengawal kebijakan eksekutif (Bupati). Dengan sistem yang seperti itu, maka dibutuhkan peran pengawas di luar sistem seperti organisasi masyarakat, organisasi pemuda, lembaga swadaya masyarakat, organisasi paguyuban, ninik mamak, dan terutama kelompok terdidik yang memiliki akses pendidikan yang baik dan layak, yakni kelompok yang mulai hilang suara dan fungsi akalnya.

Dalam catatan sejarah, kelompok mahasiswa selalu bertindak sebagai social control. Mahasiswa, dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, seharusnya bisa mempertajam kepekaan sosial serta sikap kritisnya. Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat, kepekaan tersebut tidak hanya dapat diwujudkan dalam bentuk demonstrasi saja, melainkan juga seharusnya dapat diwujudkan melalui kontribusi langsung dalam bentuk gerakan moril.

Mahasiswa Sebagai Pelaku Perubahan?

Mahasiswa juga memiliki fungsi dan peran sebagai agen perubahan. Artinya, mahasiswa tidak hanya berperan sebagai penggagas perubahan. Akan tetapi, ia juga memiliki peran sebagai subyek atau pelaku dari perubahan itu sendiri. Sikap kritis serta positif, pada dasarnya harus dimiliki oleh seorang mahasiswa sebagai agent of change. Kedua sikap tersebut diharapkan mampu membuat perubahan yang baik ketika terjadi kejanggalan dalam lingkungan sosial. Sehingga dapat membuka  kesadaran dan kewaspadaan terhadap kebijakan elit politik.

Mahasiswa sebagai kelompok yang terdidik seharusnya berada di barisan paling depan dalam memimpin gerakan sosial. Sayangnya, beberapa tahun belakangan, entah karena pengaruh teknologi yang kian masif atau hal lainnya, peran mahasiswa sebagai agent of change dan social control itu mulai kehilangan taringnya, terutama mahasiswa yang berada di Kabupaten Kampar maupun mahasiswa Kampar yang berada di luar daerah.

Banyak organisasi mahasiswa mempunyai massa yang berlimpah, tetapi massa itu hari-hari ini hanyalah kuantitas (angka), bukan lagi kualitas (isi). Sebab, orientasinya sudah mulai berubah menjadi sekadar organisasi ataupun perkumpulan yang melakukan agenda-agenda seremonial belaka. Tidak jarang kita melihat pemandangan bahwa perkumpulan yang dibuat oleh mahasiswa tak lebih hanya sekadar untuk kepentingan “eksistensi indivdu” saja, seperti sekadar berfoto ria untuk memperlengkap feeds Instagram dan bergaya ala pahlawan agar “seolah-olah” sudah berjuang dalam gerakan sosial.

Sejatinya, ada hal yang lebih penting dari sekadar melengkapi feeds sosial media. Kampar ini luas dan memiliki ratusan desa yang masih perlu ide segar yang dibawa oleh Mahasiswa. Di Kampar ini masih banyak desa-desa yang belum mendapatkan akses jalan yang layak, masih banyak rumah yang belum layak huni. Sedang di satu sisi, pejabat Kampar selalu mengggunakan pajak kita yang dipotong dari APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) untuk melakukan kunjungan ke luar kota dengan harapan dapat membawa perubahan di Kampar, padahal sama sekali nihil.

Jangankan dari sisi kebijakan dan tindakan publiknya, di sosial-sosial media yang kita punya, kita dapat melihat bahwa sebagian besar para pejabat yang tiap bulan digaji dari uang rakyat itu hanya bekerja menghadiri undangan pernikahan ke pernikahan saja. Sedang di satu sisi, jarang sekali bahkan hampir tidak ada informasi yang sifatnya untuk kepentingan rakyat seperti beasiswa pendidikan ataupun mengenai akses lapangan kerja yang layak.

Sebab itulah, mari bangun kesadaran. Bukan hanya teori, tetapi juga aksi. Seperti yang dikatakan oleh Wiji Thukul di dalam syairnya: “Apa guna punya ilmu tinggi kalau hanya untuk mengibuli? Apa guna banyak baca buku kalau mulut kau bungkam melulu?”

Editor: Ziyad Ahfi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *