Opini  

Beringin Golkar Riau Tumbang Ditanduk Banteng PDI-P

Foto KEMAL JUFRI/AFP via Getty Images

Pasca kendali perahu partai pohon beringin itu berada di bawah kendali Syamsuar, kenyataannya, mantan Gubernur yang sekaligus Caleg (Calon Legislatif) DPR-RI Terpilih tersebut tidak membuat Golkar Riau kian besar dan diuntungkan.

Penulis: Herman Attaqi

Warna kuning Golkar di Riau mulai memudar. Daun-daun hijau beringinnya berguguran. Akarnya rapuh. Batangnya keropos, sehingga tidak kuat diterpa pergantian musim dan umur. Pada perhelatan Pileg (Pemilihan Legislatif) 2024 ini, secara suara, Golkar menang dengan perolehan 541.117, dan di bawahnya adalah PDI-P dengan mengantongi 512.553 suara. Akan tetapi, Golkar kalah dalam perolehan kursi dan finis di posisi kedua dengan meraih 10 kursi di DPRD Provinsi. Sedangkan PDI-P memuncaki klasemen dengan perolehan 11 kursi di tingkat Provinsi. Bahkan untuk sejumlah Kabupaten/Kota, PDI-P juga banyak menduduki kursi ketua DPRD seperti, di Kabupaten Pelalawan, Bengkalis, Rokan Hulu dan Kepulauan Meranti.

Dalam sejarahnya, sejak reformasi 1999 hingga 2019 atau selama empat kali Pemilu berlangsung, Golkar selalu menjadi partai pemenang di Provinsi Riau, baik secara perolehan suara ataupun dalam hal jumlah kursi. Namun, kendati secara nasional suara Golkar bertambah di 2024 ini, tentu itu adalah hasil dari kerja keras kader dan kematangan strategi yang dikoordinir oleh Ketua Umum DPP Golkar, Airlangga Hartarto, beserta jajaran pengurus di DPP.

Peningkatan suara dan kursi secara nasional itu ternyata tidak berbanding lurus dengan yang terjadi di Riau. Meski mengalami kenaikan suara di tingkat DPR-RI dengan bertambahnya 1 kursi di Dapil (Daerah Pemilihan) Riau 1, di tingkat Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, untuk pertama kalinya Golkar kehilangan kursi ketua di DPRD Provinsi dan beberapa di DPRD Kabupaten/Kota. Dari 12 Kabupaten/Kota, di 2024 ini, Golkar hanya meraih 2 kursi ketua, yakni Kabupaten Siak dan Rokan Hilir, Padahal sebelumnya (2019), Golkar memiliki 4 kursi ketua, yakni di DPRD Indragiri Hulu, Pelalawan, Indragiri Hilir dan Kuantan Singingi.

Kekalahan ini tentu menjadi catatan merah dan sejarah buruk bagi Golkar sebagai partai besar di Riau. Pasca kendali perahu partai pohon beringin itu berada di bawah kendali Syamsuar, kenyataannya, mantan Gubernur yang sekaligus Caleg (Calon Legislatif) DPR-RI Terpilih tersebut tidak membuat Golkar Riau kian besar dan diuntungkan.

Seharusnya Golkar Diuntungkan

Sebenarnya, ada banyak keuntungan yang bisa dimanfaatkan Golkar Riau di Pemilu 2024 ini, dua di antaranya adalah sebagai berikut:

Pertama, Berada di barisan koalisi Prabowo-Gibran. Kondisi ini seharusnya bisa membawa Golkar menjadi pemuncak klasemen apabila berkaca pada perolehan Pilpres. Di Riau, Prabowo-Gibran berhasil menjadi juara pertama dengan perolehan 1.931.113 suara. Sedangkan Ganjar-Mahfud, partai yang didukung oleh PDI-P, berada pada posisi terakhir dengan memperoleh 357.298 suara. Perbandingan ini bisa dijadikan sebagai tolak-ukur bahwa Golkar tidak mampu memanfaatkan posisinya di dalam koalisi Prabowo-Gibran. Berbanding terbalik dengan yang terjadi pada PDI-P yang berada di barisan koalisi yang kalah. Dalam kondisi seperti itu, justru mereka mampu bertarung dan menang di gelanggang Pileg Riau.

Berbeda dengan yang terjadi pada Pilpres 2019, Golkar berada dalam keadaan dilematis karena berada di barisan koalisi Jokowi-Ma’ruf (Paslon yang kalah di Riau). Namun, kendati kalah dan mengalami penurunan suara, Golkar tetap lolos sebagai partai pemenang dan memegang tampuk kekuasaan, baik eksekutif maupun legislatif Provinsi di beberapa daerah di Kabupaten/Kota.

Kedua, Posisi politik yang strategis. Pada tahun-tahun sebelumnya (terutama 2019), Golkar selalu menjadi pemegang puncak elit politik di Provinsi Riau. Posisi itu seharusnya mampu menjadi penunjang Golkar untuk memenangkan arena tarung Pileg. Alih-alih mampu memanfaatkan posisi strategis itu, Golkar justru menuai kekalahan dan bahkan menambah rentetan panjang kekalahan Golkar di Riau jika dihitung sejak Syamsuar terpilih sebagai ketua Golkar Riau pada 2020 lalu.

Sejak terpilih, Syamsuar sudah menuai kekalahan pertamanya. Pada Pilkada serentak yang diselenggarakan di 9 Kabupaten/Kota di tahun 2020 (Kabupaten Bengkalis, Siak, Kepulauan Meranti, Rokan Hilir, Rokan Hulu, Kuantan Singingi, Indragiri Hulu, Pelalawan dan Kota Dumai), Golkar hanya menuai 2 kemenangan, yakni di Kabupaten Kuantan Singingi dan Indragiri Hulu. Selebihnya, Golkar kalah dan pada saat itu, Syamsuar, adalah ketua DPD Golkar Riau yang sekaligus menjabat sebagai Gubernur Riau.

Syamsuar Telah Gagal?

Sebagai pribadi, Syamsuar memang sosok yang telah melalui banyak kemenangan di wilayah politik elektoral, mulai dari Wakil Bupati Siak (2001), Bupati Siak 2 periode (2011-2019), Gubernur Riau (2019-2023) dan Caleg Terpilih DPR-RI (2024). Akan tetapi, sebagai ketua Partai Politik, Syamsuar telah (membawa) Golkar pada kekalahan. Apakah ia, sebagai ketua partai, adalah seorang nakhoda kapal yang gagal? Dari fakta-fakta di atas, Ia gagal membawa kapal besar Golkar mengarungi lautan luas, curam, dan penuh badai. Padahal, kapal yang ia bawa adalah kapal bermesin tinggi dan berteknologi lengkap yang diisi oleh pelaut-pelaut tangguh dan berpengalaman. Namun ia lengah, ia tidak mampu memanfaatkan semua peralatan dan fasilitas itu. Di tengah lautan yang kita sebut Riau itu, Syamsuar terlena. Di tengah jalan ia telah ditawan para perompak. Kapalnya ditembak bocor. Amunisi kapal dirampok paksa. Dan pelaut-pelaut tangguh itu, akibat jarang dilatih dan diabaikan, satu-persatu mulai lompat ke lautan lepas. Mereka mencari tempat bergantung pada apa saja yang mereka temui. Seperti petuah bijak orang tua dahulu: “Kalau nakhoda kuranglah paham, alamat kapal akan tenggelam.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *