ihwal.co – Netizen bukan sembarang netizen. Di Indonesia, kalau netizen sudah bersatu: selesai itu barang! (Berbicara dengan nada kanda Bahlil).
Menteri Kebudayaan Fadli Zon akhirnya keluar kandang setelah mendekam lama di balik tempurung kerjanya yang dipenuhi tumpukan artefak proposal proyek sejarah.
Sebelumnya, Fadli Zon dihajar habis-habisan setelah mengeluarkan pernyataan kontroversial–yang menyangkal peristiwa pemerkosaan massal Mei 1998.
Netizen tidak menepuk mukanya. Juga tidak menendang pelernya. Netizen hanya memukulnya dengan sebuah pukulan yang bisa membuat Fadli Zon susah tidur 7 x 24 Jam: Hasil laporan TGPF, Komnas Perempuan, Komnas HAM, saksi sejarah, penyintas, dan pengakuan resmi Presiden BJ Habibie pada forum kenegaraan di DPR pada 14 Agustus 1998.
Alih-alih keluar dan meminta maaf, Fadli Zon justru lebih garang daripada uda-uda Taplau yang kalah judi online. Seolah, fakta-fakta yang dilempar netizen ke kepala bebalnya tidak mampu merungkadkan argumen Uda Sejarawan juncto penulis buku Politik Huru-Hara Mei 1998 kenamaan itu.
Karena, dalam klarifikasinya di sosial media X, ia membantah peristiwa pemerkosaan massal Mei 1998 sebagai peristiwa yang tak terbukti secara hukum. Katanya: Sejarah perlu bersandar pada fakta-fakta hukum dan bukti yang teruji secara akademik dan legal.
Uda Fadli Zon yang terhormat … kalau sejarah harus bersandar pada bukti legal, apakah Uda Fadli Zon secara tidak langsung juga berpihak pada tentara-tentara yang memasuki Sumatera Tengah pada periode PRRI (1958-1961)?
Mereka membunu*h, meng*niaya, dan memperkosa masyarakat. Tapi sampai hari ini belum ada putusan pengadilan yang menyatakan bahwa tentara-tentara brengsek itu bersalah. Apakah peristiwa ini hanya “rumor”, Uda Fadli Zon?
Bahkan, akibat mengerikannya peristiwa pada saat itu, banyak orang-orang Minang sampai harus mengganti namanya menjadi kebarat-baratan.
Kenapa? Karena saking takutnya dib*nuh, di*niaya, dan diperk*sa hanya karena alasan dia adalah orang Minang.
Bahkan juga, ketika itu, jutaan orang Minang merantau meninggalkan Sumatera Tengah bukan lagi karena dorongan tradisi, melainkan karena takut melihat loreng baju tentara yang membayang-bayangi ingatan buruk mereka.
Atau peristiwa Westerling (1946-1947). Peristiwa berdarah yang membantai sekitar 40 ribuan masyarakat pribumi oleh penjajah–yang hingga hari ini para pelakunya belum diadili dan belum terbukti melakukan pembataian oleh putusan pengadilan.
Apakah Uda Fadli Zon juga menyangkal peristiwa ini dengan menganggapnya sebagai “rumor” hanya karena putusan pengadilan tidak mengadili iblis-iblis pantek itu?
Jadi, Uda Fadli Zon … yang sejarawan, yang intelektual, yang politikus senior, yang aktivis 98, yang abang-abangan kanan progresif, janganlah engkau bersikap “buruk muka Soeharto, fakta sejarah dibelah.”
Barangkali, penyangkalan peristiwa Mei 1998 itu untuk memuluskan Bapak Soeharto yang pernah kau seret-paksa turun dari kekuasaannya itu menjadi Pahlawan Nasional. Apakah benar seperti itu Uda Fadli Zon, bestie-nya menantu Soeharto?
Jangan hanya karena peristiwa itu tidak memiliki “tone positif” maka kau lupakan peristiwa itu seperti kertas-kertas intelektual yang dikilokan di pabrik barang bekas.
Jangan sampai suatu masa, ketika kau tidak lagi seekor Menteri Kebudayaan, dan kembali menjadi abang-abangan kanan progresiph, sejarah akan mencatatmu sebagai londo ireng tinggalan penjajah.
Bagaimana menurut netijen yang Budiman? Sudjatmiko? Eh!