Fadli Zon, Menteri Kebudayaan RI sekaligus politikus Partai Gerindra, beberapa waktu lalu mengungkapkan kepada publik bahwa pemerintahan Prabowo sedang menyiapkan proyek penulisan ulang sejarah Indonesia. Dengan “tone positif,” katanya. Dengan “menonjolkan pencapaian dan prestasi,” ucapnya kemudian.
Meski berat mulut mengucapkannya, dan tangan gemetar menuliskannya, upaya itu ia lakukan untuk “mempersatukan bangsa.” Bayangkan: untuk mempersatukan bangsa!
Sungguh niat yang sangat mulia. Fadli Zon seakan-akan memang dilahirkan ke bumi Indonesia ini untuk menyelamatkan umat manusia Indonesia dari ingatan masa lalunya yang kelam, pedih, berdarah, lalu menghapus dan mengubahnya dengan sekali pukul proyek senilai Rp9 Miliar.
Alih-alih disambut baik, proyek itu justru mendapat kecaman publik. Bukan karena publik tak sanggup menanggung niat baik Fadli Zon, tapi karena publik menilai ada gajah di balik sarang kepala batu Fadli Zon.
Dalam satu peristiwa misalnya, Fadli Zon membantah bahwa tak ada pemerkosa*an massal terhadap perempuan pada peristiwa Mei 1998. Ia mengatakan peristiwa itu hanya “rumor” yang “tak terbukti” dan “tak pernah tercatat di dalam sejarah.”
Merespons pernyataan sahabat dekat Prabowo itu, publik membuka kembali Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pada 23 Juli 1998.
Menurut hasil laporan TGPF: pada Mei 1998 tercatat terjadi 52 kasus pemerk*saan, 14 kasus pemerkosaan dengan penganiayaan, 10 kasus penyerangan atau penganiayaan s*ksual, dan 9 kasus pelec*han s*ksual di Jakarta, Medan, dan Surabaya.
Mendukung laporan TGPF, publik juga menunjukkan pernyataan Presiden BJ. Habibie yang mengakui bahwa pemerkosaan massal terhadap Perempuan pada kerusuhan Mei 1998 “benar” adanya dan ia meminta maaf sebagai pimpinan tertinggi negara atas peristiwa tersebut.
Lalu kemudian, di era Presiden Jokowi, konco politik Prabowo, pada tahun 2022 lalu, juga turut mengakui, melalui hasil laporan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM): bahwa kerusuhan Mei 1998, sebagai salah satu dari 12 pelanggaran HAM berat yang diakui oleh negara.
Jika Fadli Zon masih menyangkal sejumlah data itu, barangkali ia mau membaca dan mendengar kesaksian yang disampaikan oleh sejarawan sekaligus aktivis perempuan Ita Fatia Nadia, seorang relawan yang tergabung di dalam Tim Relawan Kemanusiaan bentukan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Kata Ita: saking banyaknya korban kekerasan terhadap perempuan pada saat peristiwa Mei 1998 di Jakarta, ia dan relawan lainnya sampai kewalahan menanganinya. Sehingga, ketika mendengar pernyataan Fadli Zon, Ita geram dan menyebut bahwa pernyataan itu sebagai “dusta.”
Bahkan, menurut Ita, fakta sejarah itu telah ditulis di dalam sebuah buku berjudul “Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI” yang mengutip hasil laporan TGPF. Pada halaman 609: tertulis bahwa pada pergerakan politik di bulan Mei 1998, terjadi pemerkosaan massal terhadap sejumlah perempuan Tionghoa di Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya, dan Solo.
Sejarah, walau seringkali diutak-atik seenak dengkul rezim penguasa, sejatinya ia tak pernah hilang. Ia hidup dan tumbuh di tiap-tiap memori kolektif warga di masing-masing masanya. Karena sejarah, meskipun tak masuk di dalam arsip pemerintah, bukan berarti ia tak terjadi.
Seolah-olah, alasan “tak ada bukti” membuat bekas-bekas kekerasan di tubuh perempuan yang menjadi korban pada saat itu otomatis terhapus, hilang ditiban tumpukan proposal yang berserak di meja Menteri Kebudayaan.
NB: Data dihimpun dari berbagai sumber