Kurban, Karbon, dan Kasbon

Penulis: W.S Djambak

Foto: X IndonesiaPopBase

ihwal.co – Pagi tadi, ketika bangun tidur, sebagaimana biasa saya melakukan rutinitas yang sudah dilakoni sejak bertahun-tahun silam, olahraga jari.

Saya ambil HP, dan masih dalam posisi berbaring, saya buka sebuah akun media sosial. Mulailah jemari saya bergerak naik dan turun. Tentu saja naik dan turun karena menggulir postingan pada media sosial.

Rata-rata, karena momen Idul Adha, isi beranda media sosial saya hampir seragam, yakni berisi ucapan Selamat Idul Adha 1446 Hijriah.

Saya mengingat-ingat kembali kapan saya terakhir kali merasakan kegembiraan merayakan lebaran kurban tersebut. barangkali sudah lama sekali sebelum saya mengetahui makna berkurban yang sebenarnya.

Ternyata, setelah dewasa, dan keseringan berkurban perasaan, saya mulai merasakan hambar, sebab momen Idul Adha itu seakan sudah saya lewati berkali-kali, saban hari.

Momen ini jika dikaji secara filosofis, tentu sangat puitis jika ditulis. Betapa tidak. Sejak kelender hijriah dikenal, berarti setidaknya sudah 1.400-an tahun dirayakan sebagai sebuah ibadah tahunan, dan masih akan berlangsung terus.

Namun, jauh sebelum itu, kisah kurban itu mengisahkan bagaimana pengorbanan seorang ayah yang harus merelakan anaknya diambil Tuhan, meskipun ia sendiri sudah menunggu anak tersebut sedemikian lamanya.

Keikhlasan Ibrahim akan perintah tuhannya, membuatnya diingat setidaknya oleh tiga agama semit, serta dijadikan sebagai simbol keihklasan seorang hamba.

Menariknya, ternyata, beranda media sosial tidak hanya dipenuhi oleh postingan mengenai lebaran kurban, melainkan postingan (yang sudah telanjur viral terlebih dahulu) mengenai pengrusakan alam di Raja Ampat.

Tagar #SaveRajaAmpat memenuhi media sosial hingga salah seorang tokoh besar yang juga merupakan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti pun turun gunung.

Gambar: X @susipudjiastuti

Susi yang selama ini dikenal vokal bersuara terkait konservasi ikut bersuara meminta agar kegiatan pengrusakan tersebut dihentikan. Tak tanggung-tanggung, Susi sampai menandai akun Presiden Prabowo.

Usut punya usut, ternyata kegiatan tersebut merupakan salah satu proyek hilirisasi nikel yang (katanya) termasuk dalam proyek strategis nasional (PSN).

Foto: X @troodonvet

Mengingat beberapa waktu silam perihal banjir di kawasan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) yang juga merupakan salah satu tambang nikel terbesar, sepertinya masih belum cukup membuka mata kita perihal pentingnya alam. Atau bahkan, sengaja menutup mata dan beranggapan bahwa tambang lebih penting ketimbang alam? Entahlah.

Sebagaimana lirik pada lagu kasidah, Perdamaian, saya jadi bingung sendiri memikirkan.

Foto: Beta Hita

Pada Konferensi Para Pihak (COP) yang ke-29, yang diselenggarakan di Baku, Azerbaijan, November 2024 silam, konon, negara kita tercinta, Indonesia dengan percaya diri menyatakan turut berkomitmen memperkuat kebijakan iklim dan pendanaan untuk transisi energi dengan meluncurkan rencana aksi iklim nasional dan berupaya untuk memenuhi target NDC (Nationally Determined Contributions).

Untuk mencapai itu, dibentuklah sektor-sektor penunjang, yang salah satunya ada FOLU (Forestry and Other Land Use) Net Sink, yakni dominasi penyerapan karbon oleh sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya ketimbang yang dilepaskan.

Dan targetnya bukan main-main, di mana, terjadi pengurangan emisi sebesar 31,89% pada tahun 2030 dengan bantuan internasional 43,20%. Sungguh WAW (dengan huruf kapital).

Tidak hanya itu, negara maju pun menunjukkan dukungannya kepada negara berkembang (termasuk Indonesia) dengan melipatgandakan pendanaan (cuci tangan mereka atas polusi) menjadi USD 300 miliar per tahun pada 2035.

Foto: PT PLN Persero

Kita optimis bisa mencapai target tersebut karena ke depannya akan ada mekanisme perdagangan karbon, pajak karbon, dan lain sebagainya. Semua itu demi karbon.

Namun, pada perjalanannya, keseriusan kita dalam mendukung NDC tersebut perlu dipertanyakan kembali.

Sebagai salah satu negara sabuk hijau terluas di dunia, Indonesia yang seharusnya memiliki posisi tawar, mirisnya, komitmennya bisa ditawar.

Ibarat pepatah bijak “sudah tapi belum” yang sangat terkenal itu, dalam artian lain bisa kita terjemahkan sebagai sudah mengelola tapi belum mengelola juga.

Keseriusan yang tidak benar-benar serius, dan menunjukkan betapa kita plin-plan dalam komitmen menjaga lingkungan.

Barangkali, nilai ekonomi yang dihasilkan dari tambang nikel itu bisa menghidupi kita beberapa dekade ke depan. Padahal jika nilai jasa ekosistem dihitung, tentulah tak terbayarkan.

Foto: Mongabay

Hal ini menunjukkan bahwa negara kita bertransformasi mundur, serupa moonwalk-nya MJ yang ikonik itu.

Ketika negara-negara lain sudah bergeser ke energi bersih, kita masih saja berkutat dengan energi kotor; entah kotor dari cara mendapatkannya, atau kotor pada hasilnya.

Lalu pertanyaannya, kira-kira apa yang akan terjadi dengan dana-dana yang sudah dipakai untuk pengelolaan lingkungan dalam menunjang NDC tadi?

Sebut saja dana yang digunakan pada Program M4CR (Mangrove for Coastal Resilience) yang mendapat total dana mencapai US$ 419 juta atau sekitar Rp 6,5 triliun melalui hibah dan pinjaman; Hibah sebesar USD 19 juta, dan pinjaman sebesar USD 400 juta.

Ya, memang tidak lebih besar dari anggaran yang hilang akibat kasus korupsi, sih.

Namun, yang menjadi pertanyaannya, bagaimana mekanisme pertanggungjawaban dana tersebut? Akankah pinjaman itu (yang terindikasi tidak terbayarkan melalui mekanisme perdagangan karbon) akan menjadi kasbon?

Dengan apakah kita bisa membayarnya? Apakah harus menjual satu ginjal, atau menjual nikel yang sudah menghabisi satu pulau?

Akhirnya, mencari korelasi antara kuban, karbon, dan kasbon, saya pun meminjam kalimat pada salah satu postingan di media sosial ketika senam jari tadi pagi, “Ibrahim mengurbankan anaknya untuk mematuhi perintah Tuhan. Sedangkan pengrusakan alam dengan mengorbankan rakyat untuk mematuhi perintah siapa?” [*]

*Windi Syahrian a.k.a. WS. Djambak, merupakan seorang Penulis Negeri Sipil yang menjabat sebagai Peneliti Ahli Madya di Laboratorium Sastra Mazhab Panam. Memiliki spesialisasi keahlian di bidang psikologi persampahan, antropozoologi, astrobiologi, dan berbagai bidang pseudosains lainnya. Seorang penganut paham bumi tidak bulat, dan tidak datar, melainkan merupakan salah satu percabangan pohon. Saat ini sedang merampungkan sebuah tulisan tidak ilmiah yang ditargetkan terbit pada jurnal terindeks scopus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *