ihwal.co, Yogyakarta – Tiga dari empat mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) Yogyakarta yang menjadi pemohon uji formil Undang-Undang TNI di Mahkamah Konstitusi (MK) mengaku mendapat intimidasi.
Ketiga mahasiswa itu adalah Arung, Handika, dan Irsyad. Mereka, bersama salah seorang lagi, Satrio, mengajukan permohonan tersebut pada tanggal 30 April 2025 dengan nomor registrasi 74/PUU/PAN.MK/ARPK/05/2025.
Intimidasi Terhadap Handika dan Irsyad
Dalam wawancara ihwal.co bersama Arung, pada 25 Mei 2025, ia menceritakan bahwa kejadian itu terjadi beberapa minggu setelah mereka mendaftarkan permohonan uji formil ke MK, yakni di tanggal 18 Mei 2025.
Di hari itu, Handika, mahasiswa yang berasal dari Grobogan (Jawa Tengah), dan Irsyad, yang berasal dari Lampung Timur (Lampung), di hari yang sama, masing-masing dari ketua RT mereka didatangi oleh Orang Tak Dikenal (OTK) yang mengatasnamakan MK.
OTK tersebut menggali informasi pribadi dan meminta identitas mereka dengan berdalih dalam rangka melakukan verifikasi faktual.
Seperti Irsyad. Satu orang OTK datang membawa foto wajahnya dan meminta konfirmasi kepada ketua RT, lalu bertanya, apakah benar orang di dalam foto yang ia bawa itu adalah Irsyad, hingga kemudian meminta nomor telepon Irsyad namun tidak diberikan karena ketua RT tidak memilikinya.
Kemudian Handika. Ketua RT-nya didatangi oleh dua orang OTK dengan modus yang sama, tetapi yang diminta bukan nomor telepon, melainkan salinan KK (Kartu Keluarga).
Karena terlanjur percaya, ketua RT tersebut mendatangi rumah Handika dan memintanya kepada keluarga Handika. Setelah KK itu diperlihatkan, lalu difoto oleh dua orang OTK tersebut.
Mendapat berita janggal seperti itu, mereka segera mencari tahu, apakah benar MK mempunyai kewenangan melakukan verifikasi faktual terhadap para pemohon yang mengajukan permohonan ke MK.
Berdasarkan informasi yang mereka dapat, ternyata MK tidak mempunyai kewenangan untuk itu. Di sore harinya, mereka berempat berinisiatif mendatangi LKBH (Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum) UII dan menceritakan kronologis yang mereka alami.
Intimidasi Terhadap Arung
Tidak hanya sampai di situ. Tiga hari kemudian (21 Mei 2025), bapak dari Arung sendiri, mahasiswa yang berasal dari Mojokerto (Jawa Timur), mendapat kabar bahwa data idenitas anaknya diambil oleh Babinsa atas perintah Kodim 0815 Mojokerto.
Pengakuan Arung, identitas itu diambil di kantor desa melalui petugas desa tanpa pemberitahuan kepada Arung maupun bapaknya selaku kepala desa. Kabar itu baru diketahui Arung sehari setelah identitasnya diambil (22 Mei 2025).
Selain itu, bentuk intimidasi lainnya juga terjadi pada siang hari sebelum dimulainya sidang kedua (22 Mei 2025). Aplikasi google docs yang biasa mereka pakai untuk menyusun berkas permohonan di MK tiba-tiba secara serentak diakses oleh 8 akun anonim.
Meskipun akses ke dalam berkas google docs tersebut diberikan kepada seluruh pemilik link, namun link google docs tersebut tidak pernah dibagikan kepada siapa pun selain mereka berempat.
“Kami tidak pernah menyebarluaskan link. Tiba-tiba ada 8 akun anonim yang mengakses,” tutur Arung.
Lalu kemudian, pada saat sidang kedua permohonan uji formil MK (yang dilakukan secara online) dimulai, Arung memberanikan diri untuk bertanya langsung kepada majelis hakim, terutama terkait kronologis OTK yang mendatangi tempat tinggal mereka dengan membawa nama MK untuk kepentingan verifikasi faktual.
Atas pertanyaan Arung, hakim MK Arief Hidayat menjawab, “tidak ada. Tidak ada seperti itu. Kami tidak pernah melakukan verifikasi-verifikasi seperti itu,” ucap Arung dengan menirukan jawaban hakim Arief Hidayat.
Tidak berselang lama setelah sidang kedua selesai dan pemberitaan mengenai intimidasi mereka di media Tempo.co viral (22 Mei 2025), pada 23 Mei 2025, Arung bercerita bahwa bapaknya mendapat telepon dari salah seorang Intel Korem 082/CPYJ.
“Tanggal 23 bapak saya dapat telepon dari Intel Korem. Katanya kayak gini: Pak, bagaimana itu anak bapak itu? kok bisa ikut-kutan kayak gitu? tolonglah Pak dinasehati biar nggak kayak gini. Ya bapak saya menolak: ya gimana, Ndan, anak saya juga menempuh jalur hukum. Legal juga kok,” tutur Arung dengan menirukan percakapan antara bapaknya dengan Intel Korem.
Menurut Arung, di dalam percakapan tersebut, semacam ada upaya untuk menahan langkahnya dan teman-teman pemohon lain dalam melakukan judicial riview terhadap UU TNI di Mahkamah Konstitusi. “Dalam percakapan itu ada kecenderungan untuk menahan langkah saya. Ya seperti mencabut atau tidak meneruskan (permohonan ke MK). Ya pasti kan arahnya ke sana,” tuturnya kemudian.
Konsistensi di Tengah Intimidasi
Dari keempat mahasiswa FH UII yang menjadi pemohon uji formil UU TNI itu, hingga hari ini, hanya Satrio, yang tempat tinggalnya tidak didatangi dan identitas pribadinya tidak ditelusuri oleh OTK, Babinsa, Kodim maupun Korem.
“Yang pasti, sangat patut diduga, (kedatangan OTK, Babinsa, dan telepon dari Intel Korem) ada kaitannya dengan uji formil ini. Karena kan jelas, mereka datang dengan membawa cerita tentang uji formil itu,” tegas Arung.
Setelah mengalami rentetan peristiwa intimidasi itu, keempat mahasiswa FH UII tersebut, meskipun masih punya kekhawatiran, tetap konsisten melanjutkan permohonan dan tidak akan mencabutnya. “Keberanian tetap. Akan terus maju. Nggak ada pikiran untuk mengundurkan diri nggak ada. Tetapi keresahan dalam hati pasti ada. Khawatir,” tutup Arung kemudian.
Reporter: Muhammad Fajar Rizki*