Jikalahari (Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau), sebuah NGO (Non-Governmental Organization) yang berfokus mengkaji dan mengadvokasi isu lingkungan di Riau, meminta Abdul Wahid, Gubernur Riau, untuk segera berhenti melihat persoalan banjir sebagai sekadar bagi-bagi sembako.
“Gubernur mestinya mereview tata ruang, mengevaluasi izin korporasi HTI (Hutan Tanaman Industri) dan perusahaan sawit penyebab deforestasi yang mengakibatkan banjir,” ucap Okto Yugo Setiyo, Koordinator Jikalahari dalam merespon tindakan bagi-bagi sembako Abdul Wahid di tengah banjir yang sedang melanda Riau.
Pada 6/3/2025, menurut data yang dikutip dari mediacenter.riau.go.id, BPBD Damkar Riau mencatat ada enam kabupaten/kota di Riau yang terdampak banjir, yakni Rokan Hulu, Pekanbaru, Kampar, Indragiri Hulu, Kuantan Singingi, dan Pelalawan. Secara kumulatif, yang menjadi korban dari banjir ini sekitar 3.985 KK. Dari jumlah tersebut, yang paling banyak menjadi korban adalah Kabupaten Kampar dengan total 2.148 KK atau 7.473 jiwa.
Selain itu, secara kumulatif banjir ini juga mengakibatkan kerusakan pada beberapa fasilitas, seperti 5 fasilitas kesehatan, 7 fasilitas pendidikan, 2 fasilitas kantor, 18 fasiltas umum, jalan sepanjang 11.6 kilometer, kebun seluas 8.630 hektar dan ternak 615 ekor.
Alih-alih menanggulangi persoalan banjir melalui pendekatan lingkungan, Abdul Wahid, yang mempunyai wewenang untuk mengevaluasi kembali tata ruang wilayah Provinsi Riau itu, justru lebih memilih melakukan pencitraan melalui kerja-kerja yang seharusnya bisa dilakukan oleh pejabat setingkat dinas atau pejabat teknis lain di bawahnya.
Pada 3/3/2025, ketika berkunjung ke Desa Sendayan, Kecamatan Kampar Utara, salah satu wilayah yang terdampak banjir, dalam sambutannya, Abdul Wahid mengatakan, “Untuk solusi jangka panjang, kami akan berdiskusi dengan Bupati Kampar, PLN, dan Pemerintah Pusat. Tentu agar banjir seperti ini tidak terulang kembali, dan harus kita cari solusinya. Kalau ide saya, perlu pembangunan bendungan lagi.”
Dalam pernyataan tersebut, Wahid seakan melihat persoalan banjir hanya dari satu faktor, yakni pembukaan Waduk PLTA Koto Panjang. Dan solusinya juga hanya satu: pembangunan bendungan baru.
Mengkonfrontir jawaban Wahid tersebut, Jikalahari mengatakan bahwa Wahid harus melihat persoalan banjir di Riau ini dengan kacamata hulu-hilir. Dan pembukaan waduk pintu PLTA Koto Panjang bukanlah satu-satunya faktor penyebab banjir. Karena nyatanya, wilayah yang terdampak banjir bukan hanya wilayah yang berhubungan dengan aliran sungai Kampar, melainkan juga daerah lain, seperti Rohul, Inhu dan Kuansing.
Menurut hasil analisis Jikalahari, selain faktor curah hujan, faktor lain yang menyebabkan terjadinya banjir di Riau juga karena pembukaan hutan alam di sepanjang sungai-sungai besar di Riau, seperti sungai Kampar, sungai Rokan dan sungai Indragiri. Di sepanjang sungai-sungai tersebut telah disulap menjadi perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI).
Berdasarkan data yang dikutip dari Jikalahari.or.id, mulai dari tahun 2000 hingga 2024, deforestasi mayoritas terjadi di areal sekitaran banjir, yakni sebesar 81% atau seluas 28.176 hektar hutan alam yang berada di sekitar 29 perusahaan.
“Jika Abdul Wahid ingin selesaikan persoalan banjir, gubernur harus berani rekomendasikan agar perusahaan sawit dan HTI di sepanjang sungai ini dievaluasi bahkan dicabut izinnya jika tidak miliki sistem pengelolaan lahan yang aman bagi lingkungan. Bukan hanya bagi-bagi sembako dan sarankan pembangunan bendungan baru,” tutur Okto.