Budaya  

Merewind Ekosistem Seni Pada Tiga Babak: Dulu, Kini, Kelak Menuju 2025

Akhir tahun lalu (26/12/2024) di Auditorium Riau Creative Hub, beberapa kolektif seni menginisiasi pembacaan kembali pergerakan ekosistem seni di Pekanbaru. Di antara kolektif tersebut adalah SIKUKELUANG, Nonblok Ekosistem, Djangat Indonesia, Wan Dance Studio, OK Kober, dan Manual Kampar. Kegiatan ini bertajuk TIGA BABAK: Ekosistem Rewind 2024; dulu, kini, kelak.

Inisiasi ini lahir dari gagasan untuk meninjau kembali dinamika kolektif seni di Pekanbaru, kota yang dikenal sebagai pusat pertumbuhan, migrasi, dan urbanisasi. Sebagai kota kosmopolitan dengan letak strategis di tengah Pulau Sumatera, Pekanbaru telah lama menjadi simpul penting dalam budaya, ekonomi, dan politik, serta kaya akan keberagaman suku dan bangsa. Dengan posisi ini, Pekanbaru terus berkembang sebagai ekosistem seni yang dinamis.

Pekanbaru dan Ekosistem Seni yang Beragam

Sebagai ibu kota Provinsi Riau, Pekanbaru memiliki komunitas seni dan budaya yang semakin heterogen. Berbagai ruang kebudayaan telah menjadi arena eksplorasi, eksperimentasi, dan ekspresi, baik melalui festival, diskusi, pameran, buku, film, maupun pertunjukan. Dalam konteks ini, kerja kolektif menjadi kunci untuk mengembangkan pola kolaborasi yang relevan dengan zaman.

Kolektif seni berfungsi layaknya laboratorium budaya, tempat mengolah dan menguji ide-ide baru. Persinggungan lintas disiplin menjadi ruang kontemplasi untuk menilai efektivitas langkah-langkah yang telah ditempuh, serta merumuskan strategi untuk masa depan. Pembacaan ulang ini menjadi upaya bersama untuk mengkritisi bentuk, wacana, dan praktik yang telah berjalan, baik secara individu maupun kolektif.

Malam Refleksi: Instalasi, Pertunjukan, dan Diskusi

Lobby utama gedung RCH malam itu dipenuhi tamu undangan yang datang lebih awal. Di tengah ruang, instalasi kursi dan bangku bertumpuk menarik perhatian. Ketika lampu lobby dipadamkan, kegiatan dimulai dengan MC di lantai dua memegang lilin menyampaikan maksud acara. Ia membuka persembahan berupa kolaborasi antara Wan Harun dan Djangat Indonesia.

Kolaborasi tersebut diawali dengan petikan gitar lagu “Gelang” dari album Pos Kayat Animal Pattern, diiringi tarian Wan Harun yang muncul dari bawah tumpukan kursi. Vokal Yoenat dan Levok menyusul, menciptakan harmoni yang memukau. Tubuh Wan Harun bergerak dinamis, menggabungkan teknik stakato dan slow motion dengan apik. Menurut Yoenat, lagu “Gelang” dipilih sebagai penutup tahun, simbol semangat menuju 2025.

Setelah pertunjukan, para tamu diarahkan ke Auditorium RCH. Di atas panggung, Pramudia memulai monolog dengan menyusun buku-buku berserakan. Ia berbagi perjalanan pribadinya di dunia seni peran dan meyakini seni sebagai medium efektif untuk menyampaikan isu sosial.

Diskusi dan Pemetaan Ekosistem Seni

Sesi diskusi menjadi inti acara, dimoderatori oleh Shania. Sebelum diskusi dimulai, cuplikan perjalanan komunitas seni narasumber ditayangkan. Narasumber terdiri dari Mike Agnesia (Serat Arkais), Arnindo (Riau Creative Hub), Kunni Masrohanti (Rumah Sunting), Elot (pegiat musik), dan Aby Kusdinar (sutradara film).

Diskusi berlangsung progresif, membahas praktik kolektif dan dinamika ekosistem seni di Pekanbaru. Weldy, salah satu peserta, menyoroti pentingnya pemetaan data komunitas seni di Pekanbaru dan Riau. Pemetaan ini diperlukan agar keterhubungan antara seniman, kurator, peneliti, pengelola ruang seni, kolektor, pemerintah, dan masyarakat dapat tercipta, mendukung ekosistem seni yang inklusif dan berkelanjutan.

Penutup dalam Puisi

Sebagai penutup, Siti Salmah membacakan puisi “Pulang ke Tampuk”, merefleksikan perjalanan budaya dan harapan akan kebangkitan ekosistem seni. Berikut kutipan puisinya:

Masa lalu adalah kuburan yang mengering

Dari tangis, dendam yang mengering, dan darah yang batu.

Kita, keturunan dari luka-luka yang dijahit tergesa,

Menapak pada  setapak berbau api pun  racun.

kita mata-mata memandang ke belakang,

Melihat bayang-bayang moyang bertengkar,

Mereka tak sepakat saling tikam,

Dan kita, mewarisi pisau tumpul yang bergetar di tangan.

Kini kita muda

Berupa Kubu-kubu berdiri seperti benteng batu,

Memasing menggenggam bendera ragam warna

Membawa mantra-mantra kebudayaan sihir-sihir ekologi

Sedangkan yang tua berjongkok pada masa lalu

Sembari bersenandung

—hei, kuceritakan kepadamu dahulu masa mudaku mengalahkan rapal-rapal tetemas pendatang yang diam-diam jadi penjajah di negeri ini—

—Kuwarisi kenangan itu untukmu pun anak cucuku dan, kau siapkan diri menerima cerca dan bayang bayang yang membayangi setiap tetapak kakimu

Oi mak

“Kita puak-puak itu yang bangkit dari keterpurukan.

Jika tanganmu

tanganku

Tangan kita

adalah belenggu,

Yang menulis nasib dengan keringat sendiri dari hulu hingga ke hilir

Memungut kata pun sejarah jadi sihir-sihir.

Puah

Puah

Kamilah puak itu yang bergerak untuk negeri ini

Tidak,

Akulah lebih

Akupah lebih

Akulah penat

Akulah letih

Akulah kebudayaan itu

Akulah ekologi

Akulah segala ekosistem itu

Di kehidupan lain,

Jika tak kau temukan juga yang kau cari  pulanglah pada tampuk lalu memeluk sekitarmu

Memecahkan  teka-teki yang bisa  kita jawab bersama

—kita memeluk segala waktu dengan senyum paling hati—

Riau kreatif hub, 26 oktober 2024

Harapan untuk Masa Depan

Kegiatan TIGA BABAK: Ekosistem Rewind 2024 tidak hanya menjadi ajang perayaan, tetapi juga ruang refleksi dan dialog. Diharapkan acara ini membuka jalan bagi praktik seni yang lebih inklusif, berdaya, dan berkelanjutan, sejalan dengan cita-cita membangun ekosistem seni yang progresif di Pekanbaru.

Reporter: Husin a.k.a Ucin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *