Nyatanya, seluruh partai politik, termasuk partai politik yang mendukung Ganjar-Mahfud dan Anies-Muhaimin, juga turut serta dalam mengesahkan kebijakan politik yang saat ini ditolak oleh masyarakat umum. Artinya, ini bukan soal 02 voters. Jauh dari itu, ini soal kita sebagai korban mereka. Korban elit politik. Para elit yang berada di partai politik itu, dan elit ekonomi yang mengendalikan partai-partai itu.
Penulis: Muhammad Dava Arrifa*
“There is a class that control a country that is stupid and does not realise anything and never can. That is why we have this war. Also they make money out of it.” Tulis Ernest Hemingway dalam A Farewell To Arm (1929, hal. 54)
Sepertinya, perkataan Ernest Hemingway di tahun 1929 masih relevan apabila dikaitkan di era 2025 ini. Terutama di situasi yang terjadi di Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo saat ini. Kendati situasinya bukan perang, namun kita dapat melihat ucapan Hemingway secara substantif, bahwa konflik selalu tercipta dari adanya cengkeraman oleh satu kelas kepada kelas yang lain, atau kelas penindas (penguasa) kepada kelas tertindas (rakyat). Kelas penguasa itu tentu adalah kelas yang dengan segala sumber daya dan kewenangan yang dia punya, mampu menindas dan menipu jutaan rakyat untuk menciptakan keuntungan bagi sesama mereka.
Belakangan, di media sosial beredar narasi-narasi yang menyudutkan para pemilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming ketika Pilpres 2024 lalu (02 voters). Sebenarnya, jika lebih objektif, 02 voters itu sejatinya juga adalah korban, sama seperti jutaan rakyat Indonesia yang lain. Kenapa?
Apabila dilihat lebih detail latar belakang ekonomi dari 02 voters tersebut, menurut hasil survei yang dipublikasi oleh Litbang Kompas, bahwa mayoritas 02 voters berasal dari kelas ekonomi bawah dan menengah ke bawah, yakni sebesar 55,9 persen. Sementara, yang berasal dari kelas ekonomi atas sebesar Sekitar 45,6% dan dari menengah ke atas sebesar 50,9%. Artinya, sebagian besar pemilih 02 (Prabowo-Gibran) berasal dari kelas ekonomi bawah dan menengah ke bawah.
Dari -kelas-kelas ekonomi tersebut, yang paling berpotensi tertipu adalah kelas ekonomi bawah. Pasalnya, golongan ini dipenuhi oleh apa yang disebut Karl Marx sebagai golongan “informal proletariat” atau rakyat miskin. Menurut Marx, golongan ini adalah kelas reaksioner, kelompok yang terbuang sehingga mudah disetir untuk mendukung kepentingan kelas kapitalis.
Sementara, kelas menengah, adalah orang-orang yang mendapat cipratan keuntungan dari kemenangan paslon 02, seperti pengusaha, birokrat, aparat, influencer atau selebriti yang kini berada di lingkaran kekuasaan. Sebatas kepentingan pribadi yang menguntungkan mereka.
Kurang tepat rasanya apabila kita melimpahkan kesalahan pada orang-orang yang tertipu atas apa yang dilakukan pemerintah terhadap kebijakan-kebijakan penting sejak Pilpres dimulai. Terutama 02 voters yang berasal dari kelas ekonomi bawah. Tindakan semacam itu justru berpotensi menimbulkan konflik horizontal.
Sebaiknya, apabila pemilih yang bukan 02 voters bisa merangkul kembali mereka, niscaya potensi revolusioner bisa tercipta. Sebab menurut Marx, golongan tersebut memiliki potensi revolusioner apabila kelas sosial tersebut memperoleh panduan dan pengorganisasian yang tepat, seperti yang terjadi pada revolusi China dan gerakan kemerdekaan di Afrika yang utamanya diisi oleh kelas tersebut, misalnya.
Saat ini, yang perlu kita lakukan adalah membangun kesadaran kolektif dan melupakan tentang siapa memilih siapa. Siapa mendukung siapa. Ini semua hanyalah manipulasi yang sengaja diciptakan oleh Oligarki yang mengendalikan republik ini di atas kemiskinan struktural yang sudah sejak lama mereka langgengkan.
Secara legal, pemimpin saat ini memang dipilih oleh rakyat. Tapi secara legitimasi, mereka tidak memiliki kepercayaan rakyat secara utuh. Karena kita semua tahu, pemilih 02 tidak semuanya memilih karena mereka meyakini Prabowo-Gibran memang layak memimpin. Melainkan karena kebutuhan sesaat seperti kaos, sembako, serta kebutuhan perut semata yang mereka memang butuhkan saat itu.
Apalagi kita juga tahu, Presiden saat itu, Jokowi, juga turut serta membantu dengan tangan besi kekuasaannya menggerakkan instrumen negara, mulai dari birokrasi hingga aparat Parjo (Partai Ijo) dan Parcok (Partai Cokelat) untuk memenangkan Prabowo Subianto (bekas menteri di kabinetnya) dan anak kandungnya (Gibran Rakabuming).
Sun Tzu dalam The Art of War (2004, hal. 120) menulis, the enlightened ruler is heedful atau penguasa yang baik adalah pemimpin yang peka. Namun tidak dengan saat ini. Di tengah gemboran penolakan, pemerintah justru mempertebal kuping terhadap suara rakyat. Narasi kekecewaan terhadap 02 voters ini mulai meledak beberapa hari setelah DPR RI bersama-sama dengan pemerintah kompak mengesahkan Rancangan Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Di hari itu, Kamis (20/3/2025), ribuan masyarakat sipil memadati kompleks parlemen sejak pagi, namun tak ada satupun perwakilan DPR yang menemui mereka. Sementara di dalam gedung parlemen, Ketua DPR RI Puan Maharani dengan mudahnya mengetok palu yang menandakan pengesahan RUU TNI tersebut, yang disetujui oleh seluruh fraksi partai di DPR tanpa satupun yang berbeda pandangan.
Pasca pengesahan itu, beragam narasi kekecewaan terhadap pemerintah semakin meluas dan membesar. Besarnya kebencian itu bahkan mengaburkan siapa musuh yang sebenarnya. Sehingga, mulai bermunculan narasi yang menyalahkan orang-orang yang memilih Prabowo-Gibran saat Pilpres lalu.
All Blood On Your Hands, tulis salah seorang netizen yang merasa telah kehilangan rasa hormat dan tidak akan pernah memaafkan 02 voters. Kemudian, No, it’s not that you didn’t know, you are just ignorant, tulis seorang netizen lain dengan gambar ilustrasi bayangan seorang bertubuh gendut berwujud setan tengah menggandeng anak kecil.
Lewat dua contoh narasi tadi, kita patut berhati-hati. Jangan-jangan, ungkapan itu keluar akibat pandangan yang yang bersangkutan telah termanipulasi oleh buzzer kekuasaan agar kita saling menyalahkan sesama kita, bukan justru kepada pemerintah. Mulai dari sejak zaman Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, Munir telah mengingatkan kita bahwa kekuasaan saat itu selalu sengaja menciptakan konflik horizontal.
Sebab, menurut Munir, dengan memelihara konflik antar masyarakat, Soeharto dapat melanggengkan kekuasaannya. Amuk masyarakat menjadi tidak terfokus ke atas (vertikal), melainkan saling menodongkan pedang terhadap sesama rakyat (horizontal). Sesama korban pemerintah. Begitulah kira-kira Soeharto melanggengkan kekuasaannya hingga 32 tahun lamanya.
Kita patut menduga gelagat yang sama mulai muncul saat ini, di era ini, era Prabowo Subianto. Namun, kali ini sangat halus, menyusup ke dalam kebencian rakyat lewat narasi-narasi tersebut. Narasi yang seperti sengaja diciptakan oleh kekuasaan untuk mengadu-domba kita sesama rakyat.
Memang, yang membuat mereka terpilih dan berkuasa saat ini adalah 02 voters. Tapi coba renungkan kembali, apakah 02 voters juga ikut terlibat mendesak pengesahan kebijakan yang ditolak saat ini? Atau, apakah apabila yang terpilih bukan Prabowo-Gibran, melainkan Ganjar-Mahfud atau Anies-Muhaimin, kita benar-benar bisa meyakini bahwa suara rakyat pasti didengar? Belum tentu.
Nyatanya, seluruh partai politik, termasuk partai politik yang mendukung Ganjar-Mahfud dan Anies-Muhaimin, justru juga turut serta dalam mengesahkan kebijakan politik yang saat ini ditolak oleh masyarakat umum. Artinya, ini bukan soal 02 voters. Jauh dari itu, ini soal kita sebagai korban mereka. Korban elit politik. Para elit yang berada di partai politik itu, dan elit ekonomi yang mengendalikan partai-partai itu.
Editor: Herman Attaqi
Penulis adalah pemuda kelahiran Pekalongan yang saat ini beraktivitas di Surakarta, dan pernah menempuh perkuliahan di jurusan Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta.

 
									




